Dana Pusat ke Papua Hanya Memperkaya Elite dan Birokrat

Dana Pusat ke Papua Hanya Memperkaya Elite dan Birokrat
Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku 'Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara'. Foto: Dokpri for JPNN.com

Padahal, dana operasional pemerintahan provinsi sangatlah besar mencapai Rp 5.59 triliun atau 53.6 persen dari total transfer pusat ke daerah.

Prilaku elite Papua yang hilir-mudik Jakarta-Papua, Papua-Luar Negeri, pun bisa kelihatan dari beban perjalan pemerintah provinsi Papua. Beban perjalan dinas sebesar Rp374.4 miliar tahun 2017. Perjalan ke luar daerah sebesar Rp 189 miliar, perjalan ke luar negeri Rp 7.1 miliar dan dalam daerah Rp176.5 miliar.

Sementara realisasi anggaran pendidikan hanya Rp 269 miliar dan beasiswa pendidikan untuk non-PNS hanya sebesar Rp 235 juta. Data neraca pendidikan daerah tahun 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudaya mengokonfirmasi alokasi anggaran pendidikan Papua. Berdasarkan data Kemendikbud, APBD untuk pendidikan di Papua hanya sebesar 1.4 persen, paling rendah untuk seluruh Indonesia. Padahal, UU N0.20/2003, mengamantkan alokasi dana untuk pendidikan dari APBN/APBD sebesar 20 persen.

Menurut Ferdy, alokasi anggaran memang dinilai efisien, tetapi tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak produktif. Dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi Papua tahun 2017 memang besar mencapai Rp 1.038 triliun. Namun, dana hibah terbesar bukan untuk masyarakat Papua, tetapi untuk organisasi kemasyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencapai angka Rp 247.159 miliar. Sementara untuk kelompok masyarakat hanya sebesar Rp 7.655 miliar dan untuk hibah kepada pemerintah sebesar Rp 128,21 miliar.

“Betapa pelitnya pemerintah provinsi Papua mengeluarkan dana hibah untuk kepentingan masyarakat kecil. Sangatlah wajar jika banyak sekali LSM yang mau bekerja untuk Papua,” katanya.

Menurut Ferdy, masih ada lagi yang aneh. Belanja jasa kantor tahun 2017 sebesar Rp 223 miliar, belanja sewa sarana mobilitas Rp 100 miliar (tiket, penginapan, hotel), makan dan minuman Rp 697 miliar dan belanja kepada pihak ketiga Rp733 miliar. Masih banyak deretan kejanggalan lain yang harus diperikasa dalam laporan keuangan Provinsi Papua.

“Coba dibayangkan anggaran untuk rakyat kecil dan warga Papua sangatlah rendah. Pemerintah provinsi Papua sangat tidak peduli terhadap rakyat Papua. Lalu tokoh masyarakat Papua meminta kepada presiden untuk melakukan pemekaran menjadi 5 provinsi di Papua. Ini menurut kami tuntutan yang tidak realistis, karena pemerintah daerah di Papua tidak becus mengolah anggaran daerah. Dana alokasi pusat, hanya membuat elit Papua menjadi kaya, sementara rakyat kecil tetap miskin,” tegas Ferdy.

Data-data di atas cukup memprihatinkan dan sudah sangat terang bahwa dana perimbangan dan otsus kebanyak dialamatkan kepada elit-elit birokrasi dan elite-elite partai politik di Papua. Sementara dana untuk rakyat kecil di Papua sangatlah kecil.

Dana otsus yang besar ternyata tak bisa membantu warga Papua sejahtera. Yang menikmati keuangan dari dana perimbangan dan otsus, hanya elite-elite dan birokrat Papua.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News