Di Antara Tatas, Beje dan Antusiasme Warga, Masih Ada Keraguan

Di Antara Tatas, Beje dan Antusiasme Warga, Masih Ada Keraguan
BENDUNG - Warga berdiri di atas tabat (semacam bendungan kecil) yang baru dibangun di salah satu kanal di lahan gambut Dusun Tumbang Mangkutub, Katunjung, Kecamatan Mentangai, Kapuas, Kalteng, Juli 2011. Foto: Arsito/JPNN.
Elemen keraguan lain ada pada aspek penerimaan dan keterlibatan penuh warga. Meski sosok aparat dusun/desa seperti Surianto atau Suka menyatakan dukungan, rasa senang, berikut antusiasme warganya, kepada wartawan secara terpisah beberapa mulut warga tak urung sempat melontarkan keraguan. Baik itu ragu karena tidak mengetahui dan memahami secara utuh program ini (kurang berhasilnya sosialisasi, Red), ragu terhadap pelaksanaan juga manfaatnya, hingga keraguan akan masa depan program ini. Untuk yang terakhir, salah satu yang mengemuka adalah persoalan (status) kepemilikan lahan ketika nanti periode program ini berakhir.

Surianto sendiri pun sempat mengisyaratkan masalah ini (status lahan). Di mana intinya, meski relatif percaya bahwa KFCP cuma melibatkan dusunnya sebagai bagian dari wilayah kelola/kerja program ini, ia tegas-tegas tidak ingin jika kelak lahan milik warga yang sudah diakui secara adat (turun-temurun) harus diganggu, apalagi tak diakui atau diambilalih. "Kalau itu sampai terjadi, kita lihat saja. Kami, warga, akan mempertahankan haknya," ujarnya tegas.

Keraguan serupa juga bisa ditemukan di Desa Petak Puti, sebuah desa yang sudah lebih maju di Kecamatan Timpah yang berlokasi lebih ke hulu lagi di aliran sungai itu (Kapuas). Desa yang oleh KFCP disebut masih dalam tahap sosialisasi untuk programnya ini, melalui mulut sejumlah warga, tampaknya juga masih memendam keraguan dengan program tersebut. "Tahu, tapi belum mengerti juga sebenarnya, programnya seperti apa," ungkap Sadi, salah seorang warga di satu kesempatan.

Bahkan dalam sesi dialog informal dengan rombongan wartawan yang baru datang malam itu pun, beberapa perangkat Desa Petak Puti tak ketinggalan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mendasarnya. "Yang saya masih belum paham, kalau nanti sudah selesai (programnya), lalu karbonnya dijual ke mana?" tanya salah seorang perangkat desa. "Saya juga ingin tahu, jika nanti lahannya telah berhasil ditanami lewat program KFCP ini, maka kemudian (lahan itu) menjadi milik siapa?" timpal sang Kepala Desa, Yuyo Pidulin.

Meski tak begitu paham dengan istilah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang bagi banyak 'orang kota' pun masih

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News