Diplomasi Gaya Niam Salim

Diplomasi Gaya Niam Salim
Ahmad Niam Salim. Foto: kemenlu.go.id

SAYA mengenal Ahmad Niam Salim, sejak masih berstatus wartawan di Kota Semarang, sekitar 1993. Saya masih reporter Jawa Pos di daerah. Dia tergolong pendiam saat itu, tetapi karya jurnalistiknya cukup produktif di media lokal di sana. Tampangnya berkumis serius, tapi gaya canda dan intonasi tertawanya masih seperti dulu. Seolah ada yang berusaha dia kendalikan, tetapi tekanan tawanya tetap menggerakkan tubuh dan raut mukanya.

Tetap saja kencang, khas orang Jepara sana. Belum sebulan, menjabat Duta Besar Indonesia untuk Aljazair di Aljer, dia sudah menemukan banyak pintu untuk meningkatkan kerjasama bilateral Indonesia-Aljazair. Bahkan, Presiden Abdelaziz Boutefika yang sudah berusia 86 tahun dan menjabat sejak 27 April 1999 itu terkesan dengan gaya diplomasi model Niam –panggilan Ahmad Niam Salim—itu.

Dari skedul yang dijadwalkan protokol hanya 30 menit, dia diterima lebih dari sejam. Apa saja triknya? Pertama, dia promosikan PT Dirgantara Indonesia pabrik pesawat terbang di Bandung dan PT Pindad, pembuat aneka perlengkapan dan teknologi perang. Presiden Aljazair terkaget-kaget dan nyaris tidak percaya dengan karya orang-orang Indonesia itu.

TERKAIT Niam sampaikan informasi itu untuk merekonstruksi kesan, agar mereka tidak memandang remeh Indonesia. Kedua, Niam mengenakan peci hitam mirip yang dipakai Bung Karno. Peci itu sampai berkali-kali dielus-elus Presiden Abdelaziz, sambil mengisahkan kekaguman dan rasa hormatnya kepada proklamator RI itu. Aljazair menganggap Indonesia adalah saudara tua, satu-satunya negara yang mendorong kemerdekaan Aljazair dari penjajahan Prancis. “Itu karena Konferensi Asia Afrika Bandung, tahun 1955.

Presiden Soekarno saat itu mengundang negara Aljazair. Itulah tonggak sejarah Aljazair, pertama kali diakui sebagai negara berdaulat,” jelas Niam. Karena itu, sampai sekarang, kurikulum pendidikan sejarah perjuangan kemerdekaan Aljazair menyebut Indonesia sebagai penyelamat dan pendorong kemerdekaan, tidak lagi menjadi provinsi di bawah Prancis. Indonesia dicatat dengan tinta emas, sebagai saudara tua yang harum. Peci hitam itu sengaja dipakai Niam, untuk memutar sejarah kembali diplomasi lama kedua negara. Ibarat, menyemikan cinta lama, dari mata turun ke hati.

Itulah yang dia maksud “diplomasi peci.” Ketiga, dia menyampaikan konsep asistensi, yakni membantu Aljazair yang memiliki potensi ekonomi besar dari sektor pertanian dan perikanan, dengan menghadirkan tenaga ahli Indonesia. Wow, yang ini, terus terang saya agak ragu. Wong Indonesia yang kaya laut dan punya lahan pertanian subur saja tidak tergarap dengan optimal? “Tapi di Aljazair, jauh lebih terbelakang.

Kita punya ilmu, punya banyak ahli, kita perlu ekspor keahlian itu, sebagai bukti bahwa kita beriktikad baik. Saya sudah sampaikan ke Pak Cicip (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan setuju sekali,” kilah Niam. Diplomasi itu harus ada prinsip memberi dan menerima. Kalau mau menerima lebih banyak, ya kita juga harus memberi lebih banyak. Apa susahnya sih share ilmu? Kita bisa lebih terhormat.

Selanjutnya, perdagangan, bisnis, kultural dan apa saja bisa lebih lapang? Begitu prinsip Niam. Rupanya dia mencontohkan gaya Tiongkok masuk ke pasar Aljazair. Pemimpin-pemimpin tinggi Tiongkok paling rajin berkunjung ke sana, memberi bantuan ini itu, memberi asistensi ini itu. Apa sulitnya jurus itu kita pakai? Keempat, Niam tengah merancang cara berdiplomasi yang lebih dahsyat lagi.

SAYA mengenal Ahmad Niam Salim, sejak masih berstatus wartawan di Kota Semarang, sekitar 1993. Saya masih reporter Jawa Pos di daerah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News