Diprotes, Wacana Kepemilikan Satwa Dilindungi

Diprotes, Wacana Kepemilikan Satwa Dilindungi
Diprotes, Wacana Kepemilikan Satwa Dilindungi
JAKARTA-Yayasan Titian, organisasi lingkungan hidup, memprotes keras wacana kebijakan pemerintah terkait legalisasi kepemilikan satwa dilindungi. Walaupun penetapan harganya miliaran rupiah, namun kebijakan tersebut mempertaruhkan kelestarian satwa dilindungi. Dengan jaminan 1 milyar, kepemilikan satwa liar dilindungi yang tadinya illegal menjadi legal.

Yuyun Kurniawan, koordinator Yayasan Titian, kepada JPNN, menyesalkan wacana tersebut keluar pejabat yang menurutnya adalah representasi pemerintah sebagai pemangku otoritas pengelola konservasi di Indonesia. "Meskipun ini baru sebatas wacana kebijakan, tetapi pernyataan ini sungguh berbahaya bagi dunia konservasi di Indonesia. Ini pernyataan konyol yang menunjukan rasa frustasi sekaligus memperlihatkan ketidak mampuan pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan yang ada,” kata Yuyun.

Yuyun menambahkan alih-alih melindungi dan meningkatkan peluangnya untuk hidup bebas liar di alam, Dephut malah merencanakan kebijakan sebaliknya dengan pertimbangan dipelihara orang kaya akan lebih menjamin dibandingkan dibiarkan hidup di alam yang rentan perburuan dan diperdagangkan. "Sungguh analisis yang irrasional!” imbuhnya.

Belum genap satu tahun sejak Presiden SBY meresmikan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan bersamaan dengan diselenggarakannya forum internasional mengenai perubahan iklim, di Bali Desember 2007 lalu. Reputasi Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak satwa liar yang unik dan dilindungi secara internasional dipertaruhkan dengan munculnya pernyataan tersebut.

Sebelumnya, Dalam memperingati Hari Puspa dan Satwa Nasional sebagai kebanggaan bangsa, Dirjend PHKA Darori, mengilustrasikan, legalisasi satwa liar dilindungi ini pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Padahal menurut PP No. 8 Tahun 1999 Pasal 34, Harimau Sumatera merupakan satu diantara 11 satwa langka dilindungi yang ijin kepemilikannya sangat ketat dan hanya melalui persetujuan presiden.

“Apabila dilihat dari kacamata politik tata pemerintahan, Dirjend PHKA secara sadar telah menegasikan keberadaan presiden yang diberi kewenangan dalam hal persetujuan kepemilikan satwa berdasarkan PP No. 8 Tahun 1999,” tambah Tito dari Yayasan Palung, Ketapang. Bila wacana kebijakan ini berlanjut dan direalisasikan menjadi salah satu kebijakan di Departemen Kehutanan, maka telah terjadi penyalah gunaan wewenang (abuse of power) untuk keuntungan sekelompok orang. Kebijakan inipun apabila dilihat dari sudut pandang hukum sangat lemah karena melanggar regulasi diatasnya, undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur upaya konservasi satwa liar, katanya.

Khusus untuk Pulau Kalimantan, penyataan ini sekaligus ancaman bagi kelangsungan hidup orangutan liar yang jumlahnya semakin menyusut tajam setiap tahunnya. Berdsarakan PHVA 2004, Jumlah orangutan kalimantan saat ini diperkirakan sekitar 54.000 ekor yang tersebar sebagian besar di Indonesia dan hanya sejumlah kecil orangutan di Serawak dan Sabah, Malaysia. Saat ini, populasi orangutan diperkirakan menyusut lebih dari sepertiganya dikarenakan hilangnya habitat karena illegal logging, kebakaran hutan dan yang paling besar kontribusinya adalah konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Merespon pernyataan Dirjend PHKA, Yayasan Titian meminta dengan segera agar Dirjend PHKA mencabut pernyataannya didepan publik dan memastikan proses perumusan kebijakan mengenai hal ini dihentikan. Kemudian, Dpehut dapat menindak tegas pelaku perdagangan dan kepemilikan satwa dilindungi, hidup maupun mati beserta bagian-bagian serta meningkatkan upaya pemberantasan illegal logging dan menghentikan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit.(lev)
Berita Selanjutnya:
Hakim Tolak Replik JPU KPK

JAKARTA-Yayasan Titian, organisasi lingkungan hidup, memprotes keras wacana kebijakan pemerintah terkait legalisasi kepemilikan satwa dilindungi.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News