Dokter Joni Wahyuhadi, Inisiator Surabaya Neuroscience Institute (SNeI)

Tertarik Mazhab Dokter Jepang yang Pentingkan Pasien

Dokter Joni Wahyuhadi, Inisiator Surabaya Neuroscience Institute (SNeI)
DEMI PASIEN: Joni Wahyuhadi di ruang analisis rekam medik RSuD dr Soetomo. (Kardono Setyorakhmadi/Jawa Pos)

Hal itu memang tidak dibantah pria yang kali pertama menghirup udara bumi pada 20 Juni 50 tahun silam tersebut. ”Tapi, jangan salah. Ada satu jenis kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan apa pun. Yakni, melihat pasien sembuh dan recoveryWuihhh... rasanya tak terlukiskan,” terangnya.

Bagi Joni pribadi, berinteraksi dengan pasien adalah hal membuatnya jatuh cinta pada profesi dokter. ”Salah satu yang paling berkesan dan menohok bagi saya adalah menangani pasien stroke lima tahun lalu,” katanya.

Ketika itu seorang pria mengalami stroke di otak kecil. Kepada anak pria tersebut, Joni berkata terus terang. ”Ini saya jelaskan kondisi sebenarnya. Harus ada operasi. karena kalau tidak, ayah Anda akan meninggal. Tapi, kalau operasi, harapan sembuh total tidak ada. Ayah Anda akan mengalami kondisi vegetatif,” katanya. Maksudnya adalah tidak bisa apa-apa, hanya terbaring di ranjang. Istilah orang Jawa kembang amben.

Jawaban anak itu sungguh menohoknya. ”Mohon tolong dioperasi. Meski kondisinya jadi vegetatif, berikan kesempatan kepada saya untuk membalas budi ayah saya,’’ kata Joni, menirukan ucapan pemuda tadi. Joni mengaku terenyak dan segera menyiapkan segala sesuatunya untuk operasi.

Prosedur yang dilakukan Joni berhasil dan seperti diprediksi, ayah anak tersebut mengalami kondisi vegetatif. ”Dan anak itu membuktikan ucapannya. Dia mengurus ayahnya dengan baik,” terangnya. Pemuda tersebut juga mau belajar mengenai penyakit bapaknya dan cara menanganinya. ”Bahkan, saya sampai diberi buku teori ilmu saraf terbaru untuk stroke yang saya sendiri belum punya. Saya benar-benar salut dengannya,” terangnya.

Setelah dirawat dengan baik selama empat tahun, suatu ketika ayahnya tiba-tiba mulai bisa duduk. Joni pun diundang untuk menyaksikannya dan dirinya mengaku sangat terharu. Sayangnya, dua bulan kemudian, tiba-tiba si ayah mengalami stroke lagi. Joni buru-buru menanganinya. Tapi, kali ini meski Joni sudah berusaha keras, Tuhan berkata lain. Ayah anak itu meninggal.

Joni mengaku sangat emosional saat itu dan memeluk pemuda tersebut. Menguatkannya, memberinya ucapan belasungkawa sekaligus pujian telah sabar dan telaten merawat ayahnya. ”Tidak masalah, Dok. Saya sudah bersyukur bisa merawat ayah saya selama empat tahun. Saya harap saya telah merawatnya dengan baik,” jawab pemuda itu, yang membuat mata Joni terasa pedas dan kemudian berkaca-kaca.

”Hal-hal seperti inilah yang membuat saya termotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi pasien,” terangnya. Sebab, setiap pasien adalah manusia. Bukan statistik penyakit. Menurut dia, ilmu kedokteran tetap saja tidak akan bisa membuat seseorang yang mengalami penyakit berat, terutama di usia senja, bisa sembuh total. Tapi, kebahagiaan itu diperoleh dalam upaya-upaya memberikan penyembuhan yang terbaik bagi pasien. Juga memperlakukannya sangat manusiawi.

Perkembangan jagat medis tidak melulu berkutat pada riset teknis. Layanan terhadap pasien pun kudu ikut membaik. Itulah alasan Dr Joni Wahyuhadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News