Dokter Joni Wahyuhadi, Inisiator Surabaya Neuroscience Institute (SNeI)

Tertarik Mazhab Dokter Jepang yang Pentingkan Pasien

Dokter Joni Wahyuhadi, Inisiator Surabaya Neuroscience Institute (SNeI)
DEMI PASIEN: Joni Wahyuhadi di ruang analisis rekam medik RSuD dr Soetomo. (Kardono Setyorakhmadi/Jawa Pos)

”Untuk jumlah total kecelakaan yang membutuhkan bedah trauma kepala, saya tidak tahu pasti. Tapi, yang dirujuk di RSUD dr Soetomo 1.500 kasus per tahun,” terangnya. ”Sebagai perbandingan, itu jumlah bedah saraf trauma kepala selama setahun di seluruh Jepang,” imbuh bapak tiga anak tersebut.

Berdasar itulah, dia kemudian bersama dua temannya menginisiasi berdirinya Surabaya Neuroscience Institute dua tahun lalu. Joni mengaku terinspirasi oleh mazhab kedokteran Jepang.

”Mereka benar-benar memperhatikan pasiennya. Terutama dalam layanan. Bahkan, di RSUD dr Soetomo ketika mendampingi operasi yang kami lakukan, mereka sama sekali tidak mau dibayar. Katanya, lebih baik uangnya disumbangkan ke riset pengetahuan kedokteran saja,” terangnya.

SNeI pun berdiri dua tahun lalu. Tujuannya adalah memberikan layanan terbaik yang efektif dan efisien serta aman. Juga menetapkan standar prosedur dan teknik pelayanan terhadap pasien. Tapi, yang paling penting adalah para dokter ilmu bedah saraf mulai membentuk semacam sindikasi atau grup untuk saling membantu memberikan pelayanan terhadap pasien.

Gambaran sederhananya seperti ini. Bertolak dari fakta bahwa tidak semua rumah sakit mempunyai ahli bedah saraf yang lengkap (dari tiga aliran utama bedah saraf tersebut), para dokter bedah saraf yang punya satu keahlian siap membantu koleganya. Misalnya, ada seorang pasien yang masuk RS A dan dia mengalami trauma kepala. Sementara itu, RS A tersebut hanya punya ahli bedah saraf spinal cord. Bila sebelumnya pasien tersebut langsung ditangani ahli bedah sumsum tulang belakang itu, kini tidak lagi.

Ahli bedah saraf tulang belakang itu akan memanggil ahli bedah saraf trauma kepala untuk membantunya di RS tersebut. ”Pasien tidak dipungut biaya lagi. Tetap bayar satu dokter. Sementara koleganya membantu bukan karena untuk mendapatkan uang tambahan, tetapi terikat pada komitmen saling membantu dalam SNeI,” jelas Joni. Tidak ada beban tambahan lagi kepada pasien, tapi pasien mendapat pelayanan dari pakarnya langsung.

Selain itu, SNeI bergerak di bidang pengembangan kemampuan ahli bedah saraf dengan mengadakan seminar-seminar. Juga menerbitkan tiga buku pedoman tata laksana penanganan. Yakni, tata laksana penanganan cedera otak, tata laksana penanganan tumor otak, dan tata laksana kelainan tulang belakang. Di dunia medis, menerbitkan tiga buku dalam dua tahun bukan hal yang mudah. Dibutuhkan ketekunan dan waktu luang di sela-sela timbunan kasus bedah saraf yang harus ditangani.

Dengan meluangkan waktu tidak dibayar untuk membantu kolega, itu juga bukan pilihan populer bagi para dokter. Fee lebih banyak, terutama untuk jadi tabungan ketika bersekolah, kerap membuat sejumlah dokter lebih mementingkan ”kejar tayang”. Menjadi dokter di tiga rumah sakit dan buka praktik. Itulah stigma negatif yang sering melekat di benak para pasien.

Perkembangan jagat medis tidak melulu berkutat pada riset teknis. Layanan terhadap pasien pun kudu ikut membaik. Itulah alasan Dr Joni Wahyuhadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News