DPD Tolak RUU Cipta Kerja, Minta DPR Hentikan Pembahasan

DPD Tolak RUU Cipta Kerja, Minta DPR Hentikan Pembahasan
Gedung DPR. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ia menambahkan, kebijakan pengupahan nasional yang akan disusun pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah tidak boleh menetapkan perihal nominal upah minimum yang menjadi kewenangan gubernur dan bupati/wali kota untuk menetapkannya.  

Sisi lain, kata dia, waktu kerja paling lama 8 jam sehari dan 40 jam seminggu merupakan syarat limitatif yang ditentukan oleh UU. Oleh karena itu, dalam hal pengusaha hendak melakukan pengecualian terhadap waktu kerja yang melebihi waktu kerja tersebut wajib mendapatkan izin dari dinas tenaga kerja setempat dan memberikan upah lembur kepada pekerja.

Ia menambahkan, RUU ini hanya mewajibkan pengusaha memberikan uang pesangon dan atau uang penghargaan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Padahal, kata dia, dalam UU Ketenagakerjaan, selain kedua hal itu, pengusaha juga diwajibkan memberikan uang penggantian hak seperti hak cuti, hak ongkos transportasi, uang perawatan dan pengobatan.

“RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 UU Ketenegakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua kali lipat,” ungkap Rahman.

Selain itu, kata dia, penggunaan  tenaga alih daya atau outsourcing harus dibatasi pada pekerjaan tertentu saja, yakni pekerjaan yang sifatnya penunjang atau bukan pokok, dan hanya berlaku bagi perjanjian kerja waktu  tertentu.

Rahman menegaskan RUU Cipta Kerja dapat dipastikan mengekalkan liberalisasi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. (boy/jpnn)

Wakil Ketua Komite III DPD M. Rahman menilai RUU Cipta Kerja dapat dipastikan mengekalkan liberalisasi TKA di Indonesia.


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News