Evaluasi Pengadilan Tipikor Daerah

Evaluasi Pengadilan Tipikor Daerah
Evaluasi Pengadilan Tipikor Daerah
Tidak hanya menyulitkan Mahkamah Agung, keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi di daerah juga menyulitkan Kejaksaan Agung. Pasalnya, kejaksaan harus membawa terdakwa untuk bersidang di ibu kota provinsi. Ini tentu membutuhkan biaya sangat besar dan waktu banyak dibandingkan bila kasus tersebut ditangani oleh pengadilan negeri setempat.

Selain itu, biaya rekrutmen hakim ad hoc hingga gaji dan tunjangan juga menambah beban Negara. Sebab, hakim kini berstatus pejabat negara yang gaji dan fasilitasnya lebih besar dibanding pegawai negeri sipil biasa. "Keberadaan Pengadilan Tipikor menyerap banyak dana, mulai dari proses rekrutmennya hingga membiayai para hakim ad hoc," tuturnya.

Mantan pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Mas Achmad Santosa menilai, penangkapan dua hakim ad hoc tipikor di Semarang membuktikan korelasi antara banyaknya putusan bebas terhadap terdakwa korupsi di daerah dengan praktik jual-beli perkara. "Kalau selama ini kita dengar penyebab putusan bebas adalah dakwaan yang buruk, penangkapan dua hakim ini membuktikan adanya perilaku hakim yang tercela," katanya.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada kekuasaan kehakiman, Mas Achmad Santosa mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial meninjau semua putusan bebas yang diputuskan pengadilan khusus tipikor di daerah. Mahkamah Agung juga harus memperkuat Badan Pengawasan untuk menegakkan martabat dan kehormatan hakim.

Penangkapan terhadap hakim ad hoc Pengadilan Tipikor menandakan ada masalah dalam pembentukan pengadilan khusus tersebut. Sejumlah pakar menilai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News