Fadli Zon: 89 Tahun Sumpah Pemuda, Ketimpangan jadi Masalah

Fadli Zon: 89 Tahun Sumpah Pemuda, Ketimpangan jadi Masalah
Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Foto: Humas DPR for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, meskipun Sumpah Pemuda telah berhasil mempersatukan bangsa, namun persatuan itu masih perlu diteguhkan terus-menerus.

Semua elemen bangsa harus menyadari jika persatuan butuh dirawat. Dulu, tantangan untuk membangun persatuan adalah perbedaan suku, adat, agama dan bahasa.

“Namun, dengan visi dan kebesaran hati para pendahulu kita, mereka kemudian berhasil melampaui semua perbedaan tadi, sehingga akhirnya kita bisa dipersatukan menjadi sebuah bangsa,” kata Fadli, Sabtu (28/10) dalam pernyataannya terkait peringatan 89 tahun Sumpah Pemuda.

Kini, Fadli berujar, tantangan merawat persatuan telah berubah. Tantangan terkait persatuan adalah tidak adil dan ketimpangan. Setiap kali membiarkan terjadinya kondisi tidak adil di bidang politik, hukum, ataupun ekonomi, maka sebenarnya sedang melonggarkan ikatan persatuan. Menurut studi Amy Chua, sebuah sistem yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat memang akan melahirkan konflik dan instabilitas.

“Jadi, kalau dulu problem persatuan kita lebih bersifat kultural, maka kini problemnya menjadi bersifat struktural. Itu sebabnya kita harus memperhatikan isu keadilan dan kesetaraan secara serius, karena pertaruhannya bisa sangat mahal,” katanya.

Fadli mencontohkan, misalnya masalah ketimpangan. Ini bukan hanya semata masalah ekonomi, namun bisa mendatangkan persoalan bagi persatuan. "Melihat dari pengalaman masa lalu, bahwa setiap kali jurang ketimpangan ekonomi menganga, maka pada saat itu juga kohesi sosial kita melemah,” jelasnya.

Masalahnya, kata Fadli, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, berbagai data menyebutkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya saja. Sedangkan 80 persen sisanya yang mencakup sekitar 205 juta penduduk, tetap tertinggal di belakang. Pertumbuhan pendapatan 10 persen orang terkaya Indonesia tiga kali lipat lebih cepat ketimbang pertumbuhan 40 persen warga termiskin.

Itu sebabnya, lanjut Fadli, dalam rentang 2013 hingga 2015 yang lalu, angka koefisien mencapai 0,41. Menurut dia, ini sebuah rekor ketimpangan tertinggi sepanjang sejarah. Tahun ini, angka koefisien gini memang turun ke angka 0,39, tapi karena kelas menengah menurun income dan konsumsinya. “Itu bukan realitas yang bagus,” tegas Fadli.

Tema peringatan Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukanlah ‘Berani Bersatu’, tapi berani adil dan berani mengatasi ketimpangan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News