Faktor Psikologi Ikut Bantu Warga Indonesia Sembuh dari COVID-19

Faktor Psikologi Ikut Bantu Warga Indonesia Sembuh dari COVID-19
Before the WHO team arrived in Wuhan two team members were left behind in Singapore. (Reuters: CGTN)

Saat masuk rumah sakit akibat COVID-19 pada akhir Desember lalu, Rini Tri Utami mengaku sangat terpukul bukan saja karena kondisi fisiknya, tapi karena anak sulungnya yang duduk di kelas 6 juga dinyatakan positif COVID-19 dan harus menjalani karantina di hotel sendirian.

"Pertama masuk sudah hampir anfal, demam tinggi, urtikaria, gagal nafas, sesak, dan kejang, sasanya sudah hampir mati," ujar Rini yang juga mengaku sempat berhalusinasi.

"Tiap kali memejamkan mata, [penampakannya] jadi ungu semua, terus ada yang manggil-manggil namaku, 'Rin.. Rini..' kadang suara bapak-bapak, kadang suara perempuan, jadi aku terus merasa, aku kenapa ya, apa ini [pertanda] aku mau mati ya," ceritanya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Karena itu, Rini akhirnya mengirimkan sejumlah pesan singkat kepada keluarga dan teman-teman terdekatnya berisi permohonan maaf sampai niatnya membayar utang ke beberapa orang.

Tapi cara pandangnya dari yang "sudah siap mati" berubah drastis setelah ia berkomunikasi dengan anaknya melalui video call.

"Aku melihat dia di hotel sendirian dikarantina. Padahal dia kan selama ini masih manja sama aku. Kok dia kuat ya?

Kemudian Rini menerima telepon dari Ibunya yang isinya tidak bisa ia lupakan dan menguatkannya.

"Rini, Ibu itu ingin kamu panjang umur. Nanti kalau Ibu sudah meninggal, siapa yang doain Ibu kalau kamu yang duluan [meninggal]?" tutur Rini menirukan pesan Ibunya.

Sejumlah warga Indonesia menceritakan proses kesembuhan mereka atau anggota keluarganya dari COVID-19

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News