Filosofi Hidup dalam Bunga

Filosofi Hidup dalam Bunga
Foto: Dimas Alif/Jawa Pos

Sementara itu, shoka tidak terlalu formal. Tapi, sentuhan tradisionalnya masih kentara. Modelnya adalah rangkaian bunga yang berfokus pada bentuk asli tanaman. Rangkaian tersebut muncul dari pengaruh Eropa. Salah satu ragam gaya itu adalah nageire, menggunakan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas. Ada juga moribana, menggunakan wadah rendah dan mulut besar.

Nah, untuk gaya jiyuka, rangkaian tersebut lebih bebas sesuai dengan kreativitas dan imajinasi si perangkai. Gaya jiyuka menjadi cara merangkai bunga yang digemari anak muda. ’’Jiyuka berkembang dengan gaya bebas, sudah ada pengaruh modern. Rangkaian bunganya mewakili imajinasi dan tema apa pun,’’ urainya.

Menurut dia, merangkai ikebana jauh lebih sulit daripada rangkaian bunga lain. Tidak sekadar merangkai bunga, perubahan waktu ternyata juga sangat diperhatikan. Sebab, perubahan waktu tersebut dianggap refleksi diri dan diaplikasikan dalam rangkaian. Misalnya, penggunaan materifloral yang kuncup. Itu melambangkan manusia pada masa akan datang.

Begitu juga jika menggunakan bunga setengah mekar sebagai gambaran masa kini. Daun-daun yang mulai menguning melambangkan kejadian yang sudah lampau. Itu sebabnya, perangkai bunga harus benar-benar mengerti makna setiap rangkaian. ’’Setiap rangkaian mengandung filosofi manusia,’’ tambahnya.

Septian mengatakan, ikebana saat ini justru diminati orang-orang yang memiliki seni tinggi atau bergaya futuristis. Mereka memanfaatkan ikebana tidak hanya sebagai pajangan di ruangan, tetapi juga menggambarkan dirinya sendiri. (ayu/c7/dos)

SURABAYA – Ikebana, seni merangkai bunga asal Jepang, punya makna filosofis yang dalam. Bentuknya yang unik dengan rangkaian bunga minimalis


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News