Gunung Salak, Apa Kabarmu Kini?

Gunung Salak, Apa Kabarmu Kini?
Ilustrasi Gunung Salak. Foto: Radar Bogor

“Sama seperti gempa bumi, tak ada satu pun ahli yang dapat memprediksi kapan sebuah gunung akan bangun dari tidur panjangnya. Kami hanya bisa memprediksi dari aktivitas-aktivitas hariannya saja. Dari aktivitas-aktivitas itulah kami akan menentukan status sebuah gunung,” ungkap Kristianto.

Dia menjelaskan Gunung Salak mengitari hampir sebagian wilayah Kabupaten Bogor di sebelah barat. Sebagian wilayah Gunung Salak juga masuk di bagian tenggara Kabupaten Sukabumi. Akses menuju Gunung Salak mudah dijangkau dari Ciampea, Tenjolaya, Pamijahan, atau Leuwiliang.

Terkait status-status gunung, pihaknya membaginya menjadi empat bagian. Antara lain; normal, waspada, siaga, dan awas. Normal adalah kondisi gunung yang tidak menunjukkan aktivitas secara visual, siesmik, dan kejadian vulkanik.

Di status ini, sebuah gunung dinyatakan aman dari batas waktu tertentu hingga batas waktu tertentu. Kris menyebut jika Gunung Salak saat ini masih dalam keadaan normal.

“Kalau status waspada dikeluarkan saat gunung menunjukan serangkaian aktivitas erupsi yang tidak menimbulkan dampak bahaya secara kepada masyarakat. Kawasan yang berbahaya hanya berada di sekitaran jangkauan kawah terdekatnya saja,” jelasnya.

Sementara untuk status siaga, dikeluarkan berdasarkan hasil pengamatan secara visual dan instrumental. Dapat teramati peningkatan aktivitas yang semakin nyata. Sedangkan status awas adalah level tertinggi dari status sebuah gunung.

Apabila hasil dari pengamatan secara visual atau instrumental dapat teramati adanya peningkatan aktivitas yang semakin jelas semacam erupsi, dan seluruh kawasan rawan bencana berpotensi terancam. “Di sinilah warga yang berada di kawasan rawan bencana mulai dilakukan evakuasi,” imbuhnya.

Meski status Gunung Salak dalam kondisi normal, pemerintah kata dia, harus memaksimalkan penataan fungsi tata ruang yang sesuai potensi kebencanaan. Karenanya, PVMBG mengeluarkan peta bencana yang harus dipahami masyarakat. Permasalahannya adalah tak banyak orang yang memahami batas peta bencana yang disebut Kawasan Rawan Bencana (KRB).

Selama ratusan tahun sejak letusan hebat tahun 1699, Gunung Salak masih tertidur.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News