Harga Gas USD6 per MMBTU untuk Industri Tertentu Perlu Dievaluasi

Harga Gas USD6 per MMBTU untuk Industri Tertentu Perlu Dievaluasi
Uang. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

Yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet. Berdasarkan aturan tersebut, skema harga ini berlangsung dari 2020-2024.

“Jadi yang perlu diubah saya rasa cukup Kepmen 89 ESDM saja, karena yang mengatur inudstri mana saja yang mendapat jatah USD6 per MMBTU ada di situ,” serunya.

Karena itu, Mamit meminta agar Kemenperin, Kementerian ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini.

Apakah dampak yang diharapkan sudah sesuai atau sebaliknya.

“Rangkaian evaluasi ini perlu dibuka, jangan sampai nanti dampaknya adalah harga gas turun tetapi multiplier effect nya tidak terlihat. Karena yang dipotong ini adalah jatah negara, jangan sampai negara justru dirugikan,” katanya.

Mamit mengingatkan, kebijakan harga gas USD6 per MMBTU awalnya ditujukan agar beban biaya industri berkurang, sehingga bisa bersaing dengan produk luar negeri dan harga produk yang lebih rendah itu juga dapat dinikmati oleh masyarakat.

Dengan bersaingnya industri nasional, maka penjualan industri meningkat, sehingga penerimanan negara meningkat dari penerimaan pajak. Dari situlah jatah negara yang dikurangi dari penurunan harga gas dapat dikembalikan.

"Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar USD14,39 juta atau Rp223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu. Saya menghitung untuk enam industri yaitu petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Mamit.

Pasalnya, jika kebijakan harga USD6 per MMBTU tidak memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan, maka negara akan dirugikan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News