Harga Kedelai Meroket, Nevi Zuairina: Kado Pahit Awal Tahun Bagi Industri Tahu dan Tempe Dalam Negeri

Harga Kedelai Meroket, Nevi Zuairina: Kado Pahit Awal Tahun Bagi Industri Tahu dan Tempe Dalam Negeri
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuarina. Foto: Humas FPKS DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Di awal tahun 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen. Kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.

Anggota DPR RI Fraksi PKS Nevi Zuairina mengatakan adanya kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021, mengingat di tengah pandemi COVID-19 saat ini daya beli masyarakat menurun.

“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik. Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual,” kata Nevi Zuarina, Anggota Komisi VI Daerah Pemilihan Sumatera Barat II itu kepada wartawan, Senin (4/1/2021).

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700). Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

Nevi menjelaskan sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan. Tentunya hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor."

Nevi juga mengingatkan bahwa pada tahun 1992 kita pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun.

“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.

Meredanya perang dagang antara AS dan China diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai. Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai dari AS.

Di awal tahun 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News