Harkitnas sebagai Momentum Kebangkitan Literasi & Pendidikan

Oleh Dian Budiargo*

Harkitnas sebagai Momentum Kebangkitan Literasi & Pendidikan
Dian Budiargo. Foto: dokumentasi pribadi untuk JPNN.com

jpnn.com - SETIAP Mei terdapat dua hari besar nasional yang sangat memberikan makna bagi Indonesia, yakni Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Hardiknas diperingati setiap 2 Mei -diambil dari tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Menurut Bapak Pendidikan Nasional tersebut, pengajaran dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, yaitu upaya membebaskan anak didik dari ketidaktahuan serta sikap iri, dengki, dan egois.

Dari pengertian tersebut, pendidikan mengandung pemahaman yang sangat luas. Hal ini sangat sesuai dengan kata-kata yang tertera pada slogan Hardiknas 2023, yaitu 'Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar'.

Temanya memang sederhana, tetapi tidak simpel dalam implementasinya. Filosofi yang termaktub tak lekang oleh zaman, tetap bisa diterapkan dalam kondisi apa pun, tidak terkecuali di era digital saat ini.

Di sisi lain, kebangkitan nasional dimulai pada 1908 dengan pendirian Budi Oetomo yang diprakarsai oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Soetomo. Tujuan utama Budi Oetomo ialah meraih kemerdekaan.

Pidato Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri seluruh Indonesia pada 14 September 2021 memuat dua kata yang menyentak, yaitu agar perguruan tinggi melahirkan mahasiswa yang unggul dan utuh

Dari dua kata itu diharapkan lahir anak-anak bangsa yang mampu membawa Indonesia tangguh dan tumbuh sesuai slogan kemerdekaan ke-76 RI. Bila kita tangguh, Indonesia akan pulih lebih cepat dan tumbuh untuk bangkit, khususnya dari pandemi Covid-19 yang menerpa seluruh penjuru dunia.

Slogan tersebut merupakan pesan untuk kita semua, khususnya para pendidik, untuk bersama menghadapi Indonesia Emas 2045. Pendidik, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Data PISA yang dirilis OECD menunjukkan Indonesia termasuk dalam 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News