Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen

Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen
Baniah, salah satu saksi hidup keganasan Belanda yang membombardir Kebumen dalam agresi militer II. FOTO: Gunawan Sutanto/ JAWA POS

jpnn.com - Bulan November selalu diidentikkan dengan bulan kepahlawanan. Ya, setiap tanggal 10 di bulan itu seluruh warga Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Tapi di balik peringatan itu banyak kejadian dan tragedi heroik yang harusnya dikenang tapi malah sering terlewatkan. Termasuk mereka para pejuang dan warga sipil yang mereggang nyawa di medan pembunuhan massal selama Agresi Militer Belanda berlangsung.

---

BICARA medan pembunuhan yang terjadi selama perang kemerdekaan, mungkin yang teringat hanya kasus Rawagede, Kerawang, Jawa Barat. Itupun ramai dibicarakan setelah Pengadilan di Den Haag memutuskan Pemerintah Belanda harus bertanggungjawab atas kejadian itu pada September 2011 lalu.

Kemenangan itupun buah dari gugatan sebuah yayasan, bukan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Rawagede hanyalah satu dari sekian banyak tragedi kelam yang tak terperhatikan. Meskipun negara ini sejatinya telah menikmati lebih dari 68 tahun kemerdekaan.

Melalui sebuah ekspedisi bersama peneliti dari Indonesia dan Belanda, Jawa Pos mencoba mengingatkan kembali, bahwa ada banyak nyawa rakyat Indonesia yang terkorbankan untuk mempertahankan kemerdekaan. Terutama pada masa agresi militer Belanda I dan II. Beberapa daerah yang menjadi medan pembunuhan massal itu kami datangi, diantaranya Kebumen, Temanggung dan Malang.

Kebumen tak bisa dipisahkan dari pergolakan perang, baik selama merebut maupun mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa tragis yang terjadi di kota itu ialah tragedi Cannonade, Minggu Wage 19 Oktober 1947. Kejadian itu merupakan tembakan meriam bertubi-tubi ke desa Candi,  Kecamatan Karanganyar.

Ketika itu, penembakan meriam di tengah pasar yang sedang ramai aktifitas masyarakat. ’’Awale ana kapal mabur miring-miring. Ora suwi krungu suarane bom. Suittt...gleng...gleng...bleng,’’ ujar Baniah. Sejumlah saksi menyebutkan, kejadian itu memang diawali bom yang dijatuhkan dari pesawat capung.

Baniah yang tercatat kelahiran 1941 itu merupakan satu dari saksi sekaligus korban yang masih hidup. Cerita kelam itu meninggalkan luka di kaki kanan nenek 10 cucu dan seorang cicit itu. Saat kejadian itu Baniah berusia sekitar 6 tahun. Dia sedang ditinggal ayah dan adiknya ’’ramban’’ sayuran dan mencari kayu di bukit.

Baniah mengaku sedang memanjat pohon pepaya tak jauh dari rumahnya saat pertama kali bom dijatuhkan dari pesawat. Dia ketakutan mendengar ledakan, lari mondar-mandir berupaya mencari perlindungan. Sebab setelah asap mengepul dari bom pesawat, menyusul kemudian hujan canon terjadi.

Bulan November selalu diidentikkan dengan bulan kepahlawanan. Ya, setiap tanggal 10 di bulan itu seluruh warga Indonesia memperingatinya sebagai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News