Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen

Hujan Canon di Dapur Umum Kebumen
Baniah, salah satu saksi hidup keganasan Belanda yang membombardir Kebumen dalam agresi militer II. FOTO: Gunawan Sutanto/ JAWA POS

Baniah akhirnya memutuskan masuk ke rumahnya. Tanpa disangka di dalam rumahnya sudah banyak orang yang juga berusaha mencari perlindungan. Mayoritas mereka terluka terkena serpihan canon. Mortir yang menghujani kampung Candi itu ditembakan dari kawasan Gombong yang terdapat benteng Belanda.

Baniah dan sejumlah saksi lain yang usianya hampir sama mengatakan kejadian itu berlangsung sekitar pukul 8. Mortir turun dari langit berkali-kali seperti air hujan yang semalam sebelumnya mengguyur daerah tersebut.

’’Mortirnya berkali-kali turun, baru berhenti menjelang dhuhur,’’ papar Ahmad Suwito dalam bahasa Jawa. Pria yang mengaku kelahiran kelahiran 1922 itu mengalami patah tulang akibat kejadian itu. Dia terkena serpihan mortir.  Bekas luka itu kini masih membekas.

Dalam catatan sejarah yang tertulis di monumen 600 meriam membombadir kawasan itu. Jumlah tersebut diketahui dari lubang dan sisa meriam yang ditemukan di lokasi. Dari kejadian itu, 786 orang ditemukan tewas. Mengerikannya, menurut Suwito dan saksi lain, potongan tubuh kala itu tercecer dimana-mana. Termasuk di pohon dan terseret arus sungai yang deras setelah semalamanya hujan.

Selain Suwito, dalam ekspedisi ini Jawa Pos juga menemui korban tertua yakni Ahmad Supian. Dalam dokumen kependudukan Supian disebutkan lahir 1918. Namun dia mengaku usianya 98 tahun. Dia salah satu korban selamat dengan luka yang cukup parah. Pantatnya terkena serpihan mortir hingga tersayat cukup dalam. ’’Nggih kados roti diiris ngoten,’’ ujar Supian menggambarkan kondisi pantatnya.

Serangan canon itu membuat warga kocar-kacir, ada yang berupaya lari ke arah desa lain sejauh-jauhnya. Ada yang sempat sembunyi di gua Sigedong, yang jaraknya dari pusat pasar sekitar 2 km. Mereka yang mengungsi kebanyakan baru berani kembali berbulan-bulan kemudian.

Desa Candi menjadi sasaran kemarahan Belanda karena kawasan tersebut menjadi dapur umum untuk para pejuang yang didirikan secara sukarela oleh warga. Peneliti sejarah asal Kebumen Ravie Ananda mengatakan Belanda menganggap dengan diluluhlantakan kawasan candi, maka para pejuang akan kesulitan logistik.

Lululantaknya desa itu kini nyaris tak berbekas. Penanda yang ada hanyalah sebuah tugu sederhana. Itupun bukan dibangun oleh pemerintah daerah yang harusnya berkewajiban merawat sejarah tersebut. ’’Awalnya untuk memperingati kejadian itu dibangun tugu oleh warga yang terbuat dari batu cadas sederhana,’’ ujar pendiri komunitas Wahyu Pancasila itu.

Bulan November selalu diidentikkan dengan bulan kepahlawanan. Ya, setiap tanggal 10 di bulan itu seluruh warga Indonesia memperingatinya sebagai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News