IHII: Revisi UU BPJS Sangat Mengkhawatirkan

IHII: Revisi UU BPJS Sangat Mengkhawatirkan
IHII menilai RUU Kesehatan yang akan merevisi UU BPJS sangat mengkhawatirkan dan sebagai kemunduran. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota dewan pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan, dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada presiden.
 
Mengacu pada Pasal 34 ayat (2) usulan pemberhentian dewas direksi dilakukan oleh Kemenaker kepada presiden. Dalam UU BPJS, menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian Direksi maupun merecall Dewan Pengawas unsur Pemerintah, karena Direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab langsung ke Presiden.
 
Pasal 28 mengamanatkan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan bersama Menteri Keuangan atas persetujuan presiden.

Kemudian, Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan menjadi ketua Pansel untuk bidang kesehatan dan bidang Ketenagakerjaan. Ketentuan di UU BPJS, Presiden membentuk pansel, dan ketua Pansel bukan menteri.
 
"Dari perbandingan pasal per pasal dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memposisikan direksi dan dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri," ujar Sapul.
 
Menurutnya, dalam proses pengangkaran hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan menteri. Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan.
 
Status Badan Hukum Publik yang diamanatkan Pasal 7 ayat (1) akan menjadi bias dan hambar ketika kepentingan publik yang diwakili Direksi dan Dewan Pengawas dikendalikan Menteri, dan juga dikendalikan Partai Politik (dimana Menteri-menteri tersebut berasal)
 
Pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan tiga asas menurut UU BPJS, yang salah satunya adalah asas manfaat yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana.
 
"Prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS akan terganggu dengan hadirnya pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut," ungkapnya.

Sapul menilai intervensi dengan klaim penugasan akan mengganggu pelaksanaan prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta akan terganggu.

"Kehadiran RUU Kesehatan menjadi antitesis perjuangan gerakan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersama kelompok tani, nelayan, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)," tegas Sapul.

KAJS di medio 2009 hingga 2011 dengan tegas memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggungjawab langsung ke Presiden.

KAJS menolak pengelolaan jaminan sosial di bawah kontrol menteri dan berstatus BUMN. BPJS harus bebas dari intervensi menteri, kepentingan politik perorangan maupun partai politik.
 
"Bila RUU Kesehatan akan mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memposisikan Menteri mengontrol BPJS maka RUU Kesehatan menjadi kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas, dan RUU Kesehatan menjadi penghianatan besar atas perjuangan KAJS," pungkas Sapul.(mcr10/jpnn)

IHII menilai RUU Kesehatan yang akan merevisi UU BPJS sangat mengkhawatirkan dan sebagai kemunduran


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News