IHII: Revisi UU BPJS Sangat Mengkhawatirkan

IHII: Revisi UU BPJS Sangat Mengkhawatirkan
IHII menilai RUU Kesehatan yang akan merevisi UU BPJS sangat mengkhawatirkan dan sebagai kemunduran. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) Sapul Tavip mengkritisi pembahasan RUU Kesehatan yang sedang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI saat ini.

 "Dalam draft RUU Kesehatan yang kami terima, ada beberapa pasal yang merevisi UU BPJS yang isinya sangat mengkhawatirkan akan mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan," ungkap Sapul dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (29/1).

RUU Kesehatan saat ini dibuat dengan menggunakan Omnibus Law. Ini merupakan UU ketiga yang dibahas dengan menggunakan metode omnibus law setelah UU Cipta Kerja dan UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (P2SK).

Ada 15 UU Yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, di antaranya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
 
Menurut Sapul, kekhawatiran itu muncul karena pada RUU Kesehatan kedudukan BPJS di bawah menteri.

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang Kesehatan untuk BPJS Kesehatan; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian, pada Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
 
Padahal, saat ini UU BPJS dengan sangat jelas Direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Direksi maupun Dewan Pengawas tidak ada mengatur untuk melaksanakan penugasan dari Menteri.
 
Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan.

Namun, kata Sapul, dalam naskah RUU Kesehatan BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden melalui menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 13 huruf (l).
 
Di sisi lain, di dalam UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada presiden, tanpa melalui menteri, dengan tembusan kepada DJSN.
 
Unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.
 
Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.
 
Pada UU BPJS, komposisi dewan pengawas masing-masing BPJS adalah 2 orang dari unsur pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan), 2 orang unsur pemberi kerja, 2 orang unsur pekerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Penambahan jumlah dewan pengawas dari unsur pemerintah tersebut, disertai kontrol kuat menteri terhadap dewan pengawas tersebut.

IHII menilai RUU Kesehatan yang akan merevisi UU BPJS sangat mengkhawatirkan dan sebagai kemunduran

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News