Ini Kisah Hidup Pak Sutopo, Rela Tinggalkan Cita - Cita demi Jadi Pembawa Kabar Bencana

Ini Kisah Hidup Pak Sutopo, Rela Tinggalkan Cita - Cita demi Jadi Pembawa Kabar Bencana
Presiden Joko Widodo dan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Sutopo Purwo Nugroho di Istana Negara. Foto: Setpres

Saya itu kalau ada bencana, kalau kecepatannya kadang saya dapat informasi justru dari wartawan. Contoh, banjir bandang di Aceh. Nah setelah itu saya langsung minta posko kami hubungi TNI, Polri untuk koordinasi. Setelah dapat data juga lengkap saya langsung buat berita. Saya ngajari staf saya menulis berita, tapi sulit mereka. Jadi saya nulis dan hitung sendiri. Mereka tidak terbiasa nulis. Kalau saya kebetulan hobi menulis jadi bisa menjawab. Saya belajar nulis sendiri dan dapat masukan dari teman-teman wartawan.

Dulu saya sering kirim ke koran tulisan saya waktu di BPPT. Waktu itu saya sudah nulis soal banjir ibukota. Sulit dulu diterima di koran. Setelah usaha terus akhirnya terbit. Itu senangnya bukan main. Saya diberi saran sama teman wartawan, judul beritanya singkat saja, biasanya pakai angka. Lalu ada nama korban, umur dan jenis kelamin. Kalau bisa ada juga nomor kepala BPBD yang bisa dihubungi.

Jadi saya enggak diajarin khusus, saya hanya diberi saran karena kebetulan saya sering menulis dan suka baca berita juga jadi belajar sendiri menulis berita. Setiap akhir tahun saya broadcast kecil-kecilan pada wartawaan, survei. Apa informasi yang saya berikan bermanfaat,apa saran kritik untuk humas BNPB?. Itu selalu saya tanyakan akhir tahun. Saya juga pesan ke BPBD wartawan akan hubungi. Harus siap, dan siap jadi terkenal ditelepon terus.

Orang-orang kadang membayangkan saya punya tim besar untuk menulis berita. Tidak. Saya punya staf hanya enam. Saya kaderkan staf saya, tapi kan tergantung kemauan mereka. Kemauan kapan pun melayani wartawan setiap saat. Kan tidak semua orang mau.

Kalau ada bencana bagaimana bisa cepat mendapatkan data?

Sebenarnya masalah kecepatan kadang agak sulit. Saya pengennya cepat, tapi BPBD kan kadang aksesnya menuju tempat bencana sulit. Kecuali kalau bencana gempa kayak tsunami, kami pasti dapat paling cepat dibanding yang lain karena kami bisa 5 menit sudah dapat dari sistem yang ada di sini. Sirine posko yang ada berbunyi. 10 menit sistem yang ada di BNPB langsung menghitung penduduk terdampak, goncangannya. Lalu saya analisis sebentar dampaknya, enggak nyampe 30 menit saya buat beritanya. Diupdate tersebut. Saya diperintahkan Kepala BNPB, harus ada edukasinya buat masyarakat.

Saat Anda kirimkan pesan broadcast terus-menerus pernah ada yang marah-marah?

Pernah. Saya pernah dimaki-maki. Ini kan kadang enggak ketahuan, siapa yang punya BBM-nya. Kalau enggak aktif, saya reinvite. Terus kan di 'accept' sama yang di sana. Begitu saya broadcast, sampai ada yang BBM 'T*ik lu bencana melulu dibroadcast'. Lah saya kaget kok dimarahin. Saya tanya 'maaf dari mana ini'. Ternyata dia pakai handphone punya wartawan. Jadi handphone wartawan dijual ke orang itu. Pantas aja saya diomeli kirim broadcast terus. Akhirnya saya delete.

Sutopo Purwo Nugroho meninggal dunia setelah mengidap penyakit kanker paru - paru sejak Januari lalu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News