Ini Kisah Hidup Pak Sutopo, Rela Tinggalkan Cita - Cita demi Jadi Pembawa Kabar Bencana

Ini Kisah Hidup Pak Sutopo, Rela Tinggalkan Cita - Cita demi Jadi Pembawa Kabar Bencana
Presiden Joko Widodo dan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Sutopo Purwo Nugroho di Istana Negara. Foto: Setpres

Saya mencari cara bagaimana supaya saya bisa sampaikan informasi pada masyarakat melalui media massa. Bagaimanapun wartawan adalah mitra saya. Mereka sangat efektif sekali karena dalam kejadian-kejadian bencana mereka kadang lebih cepat dibanding saya. Waktu itu di akhir 2010 itu, saya baru pakai blackberry. Waktu itu cuma 100 lah teman-teman di BlackBerry Messengernya. Masih nyampur, bukan cuma wartawan. Terus semua informasi saya kirim satu-satu informasinya. Ngirim satu-satu capek. Sama anak saya dibilang, ngirimnya jangan gitu, 'dibroadcast' aja. Lalu diajari anak saya. Oh ternyata bagus sekali. Setelah itu saya lakukan, wartawan langsung pada BBM bilang terimakasih. Lalu media onlinenya jadi banyak menulis.

 Saya pikir-pikir ini harus saya manfaatkan BlackBerry, meski saya punya twitter, facebook, youtube, milis email 1000 lebih wartawannya. Tapi paling efektif BBM ini, karena bunyi sedikit langsung dibaca. Akhirnya saya beli dua handphone untuk menghandle kerja saya.

Berarti harus memiliki banyak smartphone untuk pekerjaan ini, kan Indonesia rawan bencana?

Wah saya sudah punya BlackBerry lebih dari 10 gonta-ganti. BlackBerry saya kan sering rusak karena terlalu banyak juga penggunaannya. Saya ngetik berita juga di BB, sama seperti wartawan online. Saya sampai punya powerbank dua, ngecharge terus batereinya. Kemana-mana selalu bawa kabel. Kayak wartawan juga jadinya. Sampai ada wartawan bilang 'Pak Topo itu kan narasumber, kok malah lebih pontang-panting kerja lebih keras dibanding saya'. Lah ya memang begitu karena saya juga mencari data.

Sulitkah bekerja hampir serupa dengan wartawan?

Sebenarnya saya bisa juga jadi wartawan. Wong sama-sama ngetik berita juga. Contoh kalau Presiden jumpa pers soal bencana, saya juga ikut ngetik di BB. Presiden selesai ngomong, saya juga udah selesai, langsung buat berita dan dikirim. Padahal ada wartawan juga di situ. Begitu saya kirim Broadcast Message, saya lihat wartawan di sekitar saya langsung pada buka BBnya. Pada kaget, lah Pak Topo kok sudah jadi beritanya'. Efektif memang. Makanya saya punya dua handphone. Satu untuk wartawan, satu untuk umum dari BPBD, tentara polisi. Ini penting untuk kecepatan informasi. BB saya itu pernah kontaknya lebih dari 1800 orang. Itu sampai 'ngehang' rusak karena banyak yang tanya soal bencana. Ganti lagi. Saya itu paling stres kalau sampai kehilangan kontak pin BB wartawan. Karena ngumpulin, nyarinya juga susah. Sekarang 1304 kontak BBM saya yang wartawan. Dulu waktu BB saya rusak, sedih saya, banyak kontak BBM yang hilang. Teman wartawan saya dalam dan luar negeri. Washington Post, CNN, Aljazerra. Mereka selalu komunikasi juga, konfirmasi bencana.

 Saya ajarkan ke teman-teman humas yang lain, pakai teknologi ini. Efektif sekali. Tapi sulit, jarang mereka. Enggak semua mau capek, karena harus siap semua. Klien saya kan wartawan semua. Kalau ada kejadian enggak saya segera broadcastkan wartawan pasti tanya terus. Capek kalau layani satu-satu. Broadcast terus data-datanya biar semua dapat saja.

Bagaimana cara Anda bisa menulis berita?

Sutopo Purwo Nugroho meninggal dunia setelah mengidap penyakit kanker paru - paru sejak Januari lalu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News