Jok-Pro

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Jok-Pro
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Foto: arsip JPNN.com

Pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan yang tidak tertulis dalam hukum. Kendati demikian, pembatasan tersebut harus menjadi kesepakatan bersama yang menjadi bagian dari tradisi demokrasi yang sehat.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Amerika Serikat di abad-18 tidak ada pembatasan masa kepresidenan. Para founding fathers Amerika, seperti, George Washington, Thomas Jefferson, dan kawan-kawan bisa saja menjadi presiden lebih dari dua periode, atau malah seumur hidup. Mereka mempunyai legitimasi yang sangat kuat untuk melakukannya.

Negara Amerika masih muda dan membutuhkan kepemimpinan yang stabil. Para pendiri bangsa itu telah menunjukkan kepemimpinan yang kukuh dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan paling mendasar.

Mereka terjun ke arena peperangan dan kemudian berhasil menyatukan bangsa. Dengan legitimasi seperti itu seorang presiden seperti Washington sangat mudah untuk meminta jabatan lebih dari dua periode.

Namun, Washington tidak melakukannya. Dia seorang pemimpin visioner yang mampu melihat jauh sampai berartus-ratus tahun ke depan.

Oleh karena itu, meskipun tidak ada undang-undang yang melarang, Washington hanya mau menjadi presiden dua periode.

Pada masa genting selama Perang Dunia Kedua, Franklin Delano Rosevelt mengubah tradisi itu dan berhasil menjadi presiden selama empat periode. Rosevelt meninggal beberapa bulan setelah menjalani periode keempat.

Sepeninggalan Rosevelt pada 1947, Kongres Amerika melakukan amendemen ke-22 atas konstitusi untuk membatasi kekuasaan presiden maksimal dua periode dan setiap periode berlangsung selama empat tahun.

Empat indikator kematian demokrasi sudah ada di depan mata kita. Gerakan Jokowi-Prabowo akan menjadi paku untuk peti mati demokrasi Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News