Jurnalisme Tuyul
Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tarik menarik tradisional antara kepentingan bisnis dan kepentingan redaksi sekarang terjadi dalam skala yang lebih masif. Dahulu masih ada mekanisme tembok api atau ‘’fire wall theory’’ yang memisahkan redaksi dari kepentingan bisnis. Di era digital tembok api itu hilang.
Dahulu jurnalisme tunduk kepada oplah dan rating, sekarang jurnalisme menyembah traffic yang dihasilkan dari SEO.
Mesin algoritma mendiktekan apa yang harus diberitakan dan apa yang tidak. Mesin algoritma akan memberi tahu mana konten yang bisa menaikkan traffic dan mana yang tidak. News value tergusur oleh news traffic.
Di dalam traffic itulah pundi-pundi penghasilan tersimpan. Makin tinggi traffic makin terbuka peluang meraup revenue sebesar-besaranya. Bermunculannya media-media tuyul dengan jurnalisme tuyul yang tugasnya hanya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan mengakumulasi traffic setinggi mungkin.
Sebagaimana praktik pertuyulan di masyarakat, media-media tuyul itu punya juragan yang memeliharanya. Juragan media tuyul itu adalah para pemilik modal dan juga para pemilik media konvensional besar yang sengaja mengoperasikannya sebagai mesin pencari uang.
Kebutuhan pragmatis mengalahkan tuntutan idealis. Media-media tuyul itu pun melahirkan jurnalisme tuyul, yang tidak peduli terhadap kualitas dan nilai-nilai agung jurnalisme. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Kini muncul mazhab baru yang disebut sebagai jurnalisme berbasis mesin pencari. Jurnalisme yang menyembah traffic
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror
- Jurnalis Masih Hadapi Kerentanan Kerja di Tengah Perayaan May Day 2025
- Perkenalkan Profil Perusahaan, PLN IP UBH Gelar Casual Meeting Bersama Wartawan
- Wartawan Diminta Keluar Saat Prabowo Sambutan di Acara Danantara, Ada Apa Ini? Hmm
- Iwakum dan Ronny Talapessy Law Firm Jalin Kerja Sama Perlindungan Hukum untuk Wartawan
- KWP Kembali Gelar Halalbihalal Antarwartawan Parlemen, Ariawan: Momentum Tepat untuk Saling Memaafkan
- Ini Kata Laksma Wira soal Oknum TNI AL Bunuh Juwita