Kalung dan Sepatu di Depan Pintu

Oleh Dahlan Iskan

Kalung dan Sepatu di Depan Pintu
Dahlan Iskan di antara tanaman quinoa di pegunungan Qinghai pada ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut. Foto: disway.id

Begitu pula untuk yang banyak suami. Juga harus tahu: ada sepatu siapa di depan pintu. Suami lain tidak akan ke situ.

Mereka menceritakan itu dengan terbuka. Bukan suatu rahasia. Atau hal yang tercela. Itu budaya warisan. Yang mereka pelihara.

Ketegangan tidak terjadi. Di rumah itu.

Kata mereka adat mengajarkan tidak banyak kata. Terutama bagi wanita. Di depan pria. Atau anak-anak. Di depan yang dewasa. Anak muda. Di depan yang tua.

Hasil usaha 11 bersaudara itu tidak dibagi. Dipakai kecukupan bersama. Rumah, makan, pakaian, dan keperluan harian lainnya.

Kalau ada kelebihan diserahkan ke pagoda. Ke kelenteng suku Changzu. Yang ahongnya (kiainya) mereka junjung tinggi.

Semua gunung itu milik mereka. Semua alam itu milik mereka. Tidak perlu rakus. Suku ini kecil sekali. Penduduk sedikit sekali. Alamnya begitu luas. Air terjunnya di mana-mana.

Tidak khawatir tidak bisa makan. Tidak perlu jas dan dasi. Kuda bisa membawa mereka pergi. Terasa damai. Di pegunungan ini.(***)


Wanita Changzu boleh punya suami lebih dari satu. Anak-anak mereka tidak tahu yang mana ayahnya. Mereka juga tidak peduli. Tidak pernah mencari.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News