Kawasan Pantura Jakarta Jadi Alternatif

Kawasan Pantura Jakarta Jadi Alternatif
ILUSTRASI. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Sebagai kota pesisir, 40 persen topografi Jakarta lebih rendah dari laut. Itu sebabnya dulu Belanda membangun Jakarta di darat.

“Namun, pascakemerdekaan, Gubernur Ali Sadikin berhasil membangun Pluit. Itu menjadi contoh bahwa rawa bisa dibangun,” kata Rudy Tambunan, pakar perkotaan yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Selasa (31/1).

Menurut Rudy, Jakarta yang semakin padat memerlukan solusi. Migrasi penduduk ke ibukota dari waktu ke waktu ternyata berlipat ganda. Jumlah penduduk Jakarta meningkat dua kali lipat hanya dalam sekian tahun. Jika jumlah penduduk meningkat dua kali lipat, berarti sarana dan prasarana harus meningkat dua kali lipat juga.

Sayangnya, pemerintah tidak bisa menyediakan prasarana mengantisipasi perkembangan tersebut. Karena itulah, orang-orang yang datang ke Jakarta mencari rumah sendiri.

“Tanah siap bangun tidak ada, mereka pun menempati tanah di pinggir sungai, dan tempat-tempat lain termasuk di pantai Jakarta," jelas Rudy.

Karena tanah di pantai sudah digunakan, maka diperlukan tanah baru. Dari situlah Jakarta mulai memikirkan solusinya dan terciptalah pantai mutiara. Berikutnya, untuk pengembangan pantai utara (Pantura) Jakarta, Pemerintah DKI mulai melakukan studi antara 1990 sampai 1993.

"Langkah ini kemudian dilanjutkan tahun 1993 sampai 1995 untuk menyusun konsep pengembangannya," ujar Rudy.

Akhirnya, tahun 1995 itu keluar istilah Pantura sebagai kawasan andalan. Di tahun yang sama, terbit Keputusan Presiden yang mendorong DKI untuk cepat melaksanakan reklamasi.

Sebagai kota pesisir, 40 persen topografi Jakarta lebih rendah dari laut. Itu sebabnya dulu Belanda membangun Jakarta di darat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News