Kebijakan Harga Rokok 85% dari Harga Banderol Gagal Diterapkan?

Kebijakan Harga Rokok 85% dari Harga Banderol Gagal Diterapkan?
Ilustrasi rokok. Foto: Humas Bea Cukai.

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti di Center Of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) menyoroti ketidaksesuaian kebijakan harga jual eceran rokok (HJE) dengan harga transaksi pasar (HTP) di lapangan.

Pasalnya, ketidaksinkronnya regulasi pemerintah terkait harga rokok ini dinilai melemahkan upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok sesuai target RPJMN 2019-2024. 

Kepala Pusat Studi CHED ITB Ahmad Dahlan, Roosita Meilani Dewi mengatakan saat ini tengah terjadi krisis konsumsi tembakau di Indonesia, serta adanya benturan regulasi mengenai kebijakan harga rokok di pasar.

Pertama, PMK setiap tahun selalu diterbitkan, di pasal 15 diatur bagaimana harga transaksi pasar rokok tidak boleh di bawah 85%.

"Namun di regulasi Dirjen Bea Cukai 37/2017 ternyata mengizinkan pabrikan mematok di bawah 85% asalkan tidak lebih dari 50% kantor wilayah bea cukai,” ujar Roosita dalam diskusi virtual bertajuk Praktik Penjualan Rokok di Bawah Harga Jual Eceran 85% dan Kaitannya dengan Tujuan Cukai untuk Pengendalian Konsumsi dan Pencapaian RPJMN.

Menurutnya hal ini menimbulkan kerugian vertikal di pemerintah dan horizontal di masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama Adi Musharianto, Peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan, mengatakan pihaknya menemukan fakta terjadinya praktik penjualan rokok di bawah 85% dari pita cukai.

“Temuan kami di lapangan menunjukkan HTP yang terjadi sekitar 70,66% atau di bawah aturan 85%. HJE misalnya 20 ribu kemudian didiskon lagi. Ini buang-buang kebijakan. Kenapa tidak langsung 85% saja di PMK-nya?" tanyanya.

Ketidaksinkronnya regulasi pemerintah terkait harga rokok ini dinilai melemahkan upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok sesuai target RPJMN 2019-2024.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News