Kebijakan Rokok Murah Dinilai Layak Untuk Dikoreksi

Kebijakan Rokok Murah Dinilai Layak Untuk Dikoreksi
Rokok dan asbak. Foto/ilustrasi: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

Emerson juga merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.

Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal. Dia mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.

“Kebijakan ini membuat kas negara tidak optimal di saat pemerintah tengah mengejar penerimaan cukai yang lebih besar dari rokok,” katanya. Menurut Tauhid, cukai rokok masih menjadi anak emas pendapatan negara bahkan di tengah kondisi krisis dan negara yang membutuhkan dana segar sehingga peninjauan ulang kebijakan diskon rokok akan mengoptimalisasi penerimaan cukai rokok.

Selain itu, menurutnya selama ini pelaku praktik diskon rokok biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang tingkat persaingannya besar. Jika pemerintah masih terus melegalkan sistem potongan harga ini, potensi kehilangan penerimaan negara akan makin tinggi.

Sementara, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85 persen dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

“Sebenarnya kami perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Ketika disinggung mengenai dasar toleransi 50 persen area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, dia menuturkan bahwa semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” tegasnya.(chi/jpnn)

Berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok pada 2020 mencapai Rp 2,6 triliun.


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News