Ketagihan Sensasi Rasa Deg-Deg Ser Kartu Pos Sampai atau Tidak

Ketagihan Sensasi Rasa Deg-Deg Ser Kartu Pos Sampai atau Tidak
ADU KREATIF: Anak muda anggota Card to Post bertukar informasi saat berkumpul. DOK CARD TO POST

jpnn.com - Di era semua komunikasi dilakukan melalui pesan digital, keberadaan media penyampai pesan seperti kartu pos makin ditinggalkan. Namun, sekelompok anak muda di komunitas Card to Post berani menantang tren zaman. 

GUNAWAN SUTANTO

MESKI menggalakkan sebuah aktivitas yang sudah dianggap kedaluwarsa, komunitas Card to Post tetap menyebarkan misi-misi kelompoknya lewat jaringan media sosial. Komunitas ini memiliki akun-akun media sosial seperti Twitter ataupun Facebook. Mereka juga punya sebuah website yang diberi nama cardtopost.com
 
Dalam situs itulah aktivitas antaranggota yang sudah lebih dari 800 orang tersebut terkoneksi. Mereka bertukar alamat untuk berkirim kartu pos, saling memamerkan kartu pos buatan sendiri, atau menunjukkan kartu pos yang diterimanya dari orang lain.
 
Minggu (22/9) siang,  menu "ruang pamer" di website itu memunculkan update baru. Seorang anggota bernama Nurfaiyah mengunggah kartu pos yang diterimanya dari anggota bernama Izzatur Rahmaniyah. Kartu pos berdesain simpel tersebut bertulisan kalimat "Selalu Ada Cahaya dalam Gelap Sekecil Apa pun Itu". Oleh pembuatnya, tulisan tersebut sepertinya dibuat dengan pewarnaan krayon.
 
Begitulah aktivitas rutin anggota komunitas Card to Post dalam menggalakkan lagi aktivitas pengiriman pesan via kartu pos. Komunitas yang lahir pada 17 November 2011 itu didirikan beberapa anak muda. Mereka antara lain Rizki Ramadan, Putri Fitria, Sundea, Hafiz Badrie Lubiz, Hiralalitya, dan Made Wirawan.
 
Rizki mengatakan, Card to Post didirikan dengan tujuan menggelorakan lagi pengiriman pesan melalui media kartu pos. Menurut dia, gerakan tersebut merupakan obat kangen generasi yang sebelumnya telah merasakan sensasi mengirim dan menerima sebuah kartu pos. "Bisa juga ditujukan untuk generasi yang memang belum pernah merasakan sensasi itu karena telah hadirnya teknologi pesan digital," ungkap alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.
 
Tidak hanya mengajak saling berkirim kartu pos, komunitas itu sejatinya juga memupuk kreativitas anggotanya. Pasalnya, di komunitas tersebut anggota juga didorong untuk membuat kreasi kartu posnya sendiri. "Dengan begitu, kami berupaya mengajak mereka berkarya. Baik dalam bentuk fotografi, desain grafis, maupun kolase," terangnya. Di dalam situs cardtopos.com memang diajarkan step-by-step mendesain sebuah kartu pos.
 
Rizky mengatakan, banyak sensasi yang dirasakan dengan berkirim-kiriman pesan via kartu pos. Yang utama tentu adanya rentang waktu penyampaian pesan tersebut. "Pastinya pengirim dan penerima deg-deg ser. Yang ngirim kepikiran sampai atau tidak. Yang menerima penasaran apa pesan yang dikirim," terang penghobi fotografi tersebut.
 
Sensasi lainnya adalah efek komunikasi yang berwujud. Yakni, barang yang berwujud itu bisa disimpan sebagai memorabilia. Adanya upaya membuat kreasi kartu pos sendiri tentu juga menimbulkan sensasi tersendiri pada pengirimnya. Sebab, mereka tentu mengerahkan kreativitasnya untuk membuat karya yang menarik. Dan sensasi-sensasi itu memang tergambar dari komentar para anggota di situs yang mengirim atau menerima kartu pos.
 
Selain mewadahi budaya saling berkirim kartu pos kepada sesama anggota, komunitas ini pernah melakukan sejumlah gerakan masal. Misalnya proyek 1.000 Kartu Pos untuk Presiden. Gerakan yang dimulai Februari 2012 itu mengajak masyarakat mengumpulkan kartu pos yang berisi aspirasi untuk presiden.
 
Kartu yang terkumpul dari seluruh penjuru tanah air kemudian dipamerkan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berulang tahun ke-63 pada 9 September 2012. Kartu pos untuk SBY itu memuat pesan beragam, namun mayoritas lucu-lucu. Misalnya kartu pos yang dibuat @dianiapsari. Dalam kartu pos itu digambarkan SBY sedang berendam sambil mengompres mata dengan mentimun. Pesannya, "Dear, Pak SBY, kompres mata pake timun bisa ngempesin kantong mata lho."
 
Kartu pos lain menggambarkan SBY sedang joging. Pesannya, "Jangan lupa lari, Pak. Tapi, jangan lari dari masalah." Ada juga kartu pos bergambar rocker kartun yang mengucapkan, "Titip salam buat Bu Ani ya, Pak!" Ada pula kartu pos yang terkait dengan sindiran terhadap album SBY.
 
Di luar program 1.000 Kartu Pos untuk Presiden, komunitas ini juga pernah memiliki kegiatan Kartu Pos untuk Kota. Kegiatan itu mengajak masyarakat menyampaikan aspirasi terhadap permasalahan kota masing-masing.
 
Di Jakarta gerakan itu dilakukan dengan menyuarakan pengembalian fungsi trotoar. Kartu pos karya masyarakat tersebut dipamerkan dan dialamatkan kepada pemimpin daerah setempat. "Dengan cara seperti itu kita bisa menyampaikan aspirasi lebih kreatif selain demo," tuturnya.
 
Rizky menambahkan, gerakan Card to Post bukan merupakan perlawanan terhadap penyampai pesan digital. "Ini sebuah alternatif dalam berkomunikasi dan membuat sebuah media yang berbeda saja," ucap pria kelahiran 28 April 1988 itu. Dalam situs cardtopost.com tercatat, kartu pos yang terkirim antaranggota sudah mencapai 1.038 buah.
 
Bersama tim dan anggota lainnya, Rizki berupaya mengampanyekan lebih luas budaya berkirim kartu pos. Mereka juga berupaya mengadaptasi teknologi digital lebih jauh guna mempermudah anggota saling berinteraksi. Saat ini anggota komunitas tersebut memang tidak hanya berasal dari Sabang sampai Merauke. Ada pula beberapa anggota dari luar negeri, misalnya dari Amerika Serikat dan Belanda. (*/c9/kim)


Di era semua komunikasi dilakukan melalui pesan digital, keberadaan media penyampai pesan seperti kartu pos makin ditinggalkan. Namun, sekelompok


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News