Kisah Han Awal, Arsitek Penyulap Gedung Tua di Jakarta

Kisah Han Awal, Arsitek Penyulap Gedung Tua di Jakarta
Kisah Han Awal, Arsitek Penyulap Gedung Tua di Jakarta. Han Awal ketika memberi kuliah umum tentang arsitek konservatoris di Teater Salihara, Jakarta, Rabu (11/3). witjak@salihara for Jawa Pos/JPNN.com

’’Bagaimana menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Konservasi bangunan bersejarah kadang tidak terlihat sebagai sesuatu yang penting. Padahal, Indonesia kaya akan bangunan tua peninggalan zaman kolonial yang jika dirawat akan menjadi bagunan yang sangat indah,” bebernya.

Dalam menggeluti profesi langka tersebut, Han memegang teguh prinsip bahwa sebuah bangunan haruslah memiliki fungsi berlindung, kokoh, dan tetap menomorsatukan aspek keselamatan.

”Jangan sampai asal mengonservasi bangunan tapi tidak mementingkan keselamatan. Jika perlu di sebuah gedung tua ditambahkan emergency exit, ataupun alat pemadam kebakaran. Semua fondasinya harus kokoh, agar siapa pun yang berada di dalamnya merasa aman,” tutur pria asli Malang, Jawa Timur, tersebut.

Seorang arsitek, lanjutnya, juga harus memegang teguh tiga poin utama sebelum menghasilkan sebuah karya. Yakni, masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Masa lalu berkaitan dengan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Masa sekarang berhubungan dengan pengaruh dari luar dan dalam negeri yang terjadi. Sedangkan masa depan berkaitan dengan bagaimana seorang arsitek memiliki kewajiban menciptakan bangunan yang mampu bertahan puluhan tahun dan tidak termakan zaman.

Menurut Han, karya arsitektur merupakan cerminan masyarakat di zamannya. Dia mencontohkan Candi Borobudur yang mampu menjadi saksi di zamannya. Ataupun jejak-jejak teknologi di sekitar kita pada masa sekarang mampu membuat sebuah permainan dari tumpukan konstruksi.

’’Dulu, konon, candi-candi itu dibangun dalam tempo semalam. Tapi, sekarang, bagaimana material bangunan dapat diangkut ke atas dan akhirnya menjadi gedung pencakar langit yang modern,’’ ujar alumnus Technische Hoogeschool di Delft, Belanda, tersebut.

Selain itu, menjadi arsitek konservasi juga tidak boleh meninggalkan aspek kearifan lokal yang harus pada setiap karya. Dia bercerita, pernah ada seorang guru besar arsitektur dari Belanda yang terpukau begitu melihat bentuk Candi Prambanan di Jogjakarta. Candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi tersebut sarat akan cerminan keindahan arsitektur bebatuan.

’’Saat si guru besar itu terpesona dengan Prambanan, saya terdiam dan terharu,” urainya.

Banyak arsitek yang mumpuni di tanah air. Namun, hanya segelintir yang mau menggeluti bidang konservasi bangunan bersejarah. Salah satunya Han Awal,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News