Kisah Pendonor Tubuh Pertama Jadi Cadaver

Kisah Pendonor Tubuh Pertama Jadi Cadaver
Kisah Pendonor Tubuh Pertama Jadi Cadaver. Pur saat ditemui di sela-sela kegiatannya bermain bridge. Meski usianya senja, ingatannya masih tajam dan detail. Foto Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos/JPNN.com

Tak disangka permintaannya dituruti, Pur dikirimi kursi roda oleh Agung. Pur pun teringat mimpi lamanya menjadi donor cadaver. Saat bertemu dengan Agung, dia mengutarakan keinginannya. ’’Ternyata Agung juga tidak tahu harus bagaimana. Sebab, belum ada yang mendaftar jadi cadaver,’’ paparnya seraya tersenyum.

Meski begitu, menurut Pur, Agung berjanji berkoordinasi dengan pihak FK mengenai keinginan Pur. Pada Rabu (31/12) FK Unair mengadakan koordinasi terkait dengan peraturan donor cadaver. Berdasar konfirmasi dari ahli hukum Unair, fenomena seperti Pur bisa disamakan dengan wasiat. Artinya, pemilik organ bisa membuat wasiat yang intinya ingin mendonorkan jasadnya kelak.

Pur memang punya jiwa sosial yang tinggi. Sejak usia 21–60 tahun, dia rutin mendonorkan darah. Syarat usia maksimal donor darah adalah 60 tahun. Karena itu, saat usianya 61 tahun, Pur mencoba tes kesehatan untuk meyakinkan bahwa dirinya masih bisa mendonorkan darah. Hasilnya, Pur benar-benar masih bisa jadi donor darah. Dia pun rutin mendonorkan darah hingga usia 65 tahun. Karena itu, Pur pernah mendapat penghargaan Satyalencana. Penghargaan tersebut diberikan khusus kepada seseorang yang pernah mendonorkan darah sebanyak 100 kali. ”Mendonorkan darah bikin tubuh lebih bugar,” katanya.

Selain itu, Pur berhenti merokok sejak 31 Desember 1974. Pola hidupnya memang sehat. Dulu dia juga selalu berolahraga badminton. Tak heran, di usianya yang ke-85 sekarang, kondisi tubuhnya cukup stabil. Pur mengatakan tidak pernah menjalani rawat inap yang lama di rumah sakit.

Menurut Pur, dirinya tidak lebih dari dua kali menjalani operasi. Yang pertama, 1970-an, dia menjalani operasi amandel. Lalu Mei 2014, tulang tangan kanannya patah karena jatuh di kamar mandi. ’’Namanya proses degeneratif. Sejak patah tulang itu, kondisi kesehatan saya menurun,’’ ucapnya.

Di usia senjanya, Pur tidak melakukan aktivitas sebanyak dulu. Bangun tidur paginya juga tidak menentu. Misalnya, bangun pukul 08.00, lalu sarapan dengan roti dan minuman sereal. Setelah itu, Pur bersantai. Cara bersantai versi Pur adalah menonton berita di televisi. Tidak heran, Pur banyak tahu mengenai berbagai isu. Ternyata menonton berita adalah rutinitasnya setiap hari. Saat siang, dia tidak selalu tidur. Tetapi, Pur biasanya baru makan nasi saat siang. Setelah itu, Pur kembali bersantai. Malam, dia biasa mengonsumsi minuman sereal atau buah-buahan.

Selain memiliki pola hidup sehat, hal penting bagi Pur adalah bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk lingkungannya. Meski usianya tidak lagi muda, Pur selalu menularkan ilmu yang dikuasainya. Misalnya, dalam hal bridge. Sebulan sekali, Pur selalu menghadiri pertemuan Klub Intan. Dia terkenal sangat mahir bermain bridge.

Bahkan, pada kompetisi Piala Pahlawan pada 13–14 Desember lalu, Pur menjadi satu-satunya anggota di Klub Intan yang masuk lima besar. ’’Kalau ingin jago bridge, harus banyak berlatih dan diskusi, dari situ bisa punya strategi,’’ imbuh pelahap segala macam buku tersebut.

Belum banyak yang berminat mendonorkan salah satu organ tubuhnya setelah meninggal nanti. Apalagi merelakan seluruh tubuhnya. Tetapi, Purbyantaravyang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News