Refleksi HUT ke IX Partai Gerindra

Kukuhkan Kontribusi Demi Indonesia Yang Pancasilais

Kukuhkan Kontribusi Demi Indonesia Yang Pancasilais
Moh. Nizar Zahro. Foto: dok/JPG

Karenanya, keniscayaan yang harus dilakukan adalah kembali meneguhkan Indonesia raya yang berkebudayaan dan berperadaban pancasilais : Berketuhanan, Berkemanusian, Berpersatuan, Bermusyarah – Bermufakat dan Berkeadilan. Caranya tentu sebagaimana dalam lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Yakni: “Bangunlah Jiwanya dan Bangunlah Badannya”.

Membangun jiwa sama dengan membangun mental, emosional dan keilmuan. Ia lebih banyak pada Carakter Building. Ia bertumpu pada pembangunan manusia yang nantinya terapilkasi pada sikapnya (Behaviourisme). Dimulainya dengan kebiasaan (habit) individu maupun sosial dalam berprilaku pancasilais, baik dalam kehidupan keluarga, akademis dan negara.

Di masa perjuangan kemerdekaan, Pembangunan jiwa ini telah memunculkan semangat nasionalistik dan kesadaran identitas. Ujungnya melahirkan pergerakan nasional baik secara fisik maupun diplomasi melawan penjajah kolonial. Untuk Indonesia yang merupakan Negara postcolonial tentu pembagunan jiwa ini sangatlah vital.Sebab, para penjajah telah meninggalkan warisan mental yang destruktif. Seperti misalnya, Mental manusia kolonial yang melahirkan superioritas dan subordinasi.

Hanya saja tak cukup dengan membangun jiwa. Melainkan harus juga membangun badan. Membangun badan adalah membangun system ekonomi, sistem politik, dan infrastruktur kelembagaan lainnya. Pendekatan ini biasa disebut dengan institusionalisme. Terlebih lagi, praktek kolonial seperti cultural state berupa tanam paksa berbasis eksploitasi dan politik devide et impera memanfaatkan keberagaman bangsa Indonesia, langgeng sampai sekarang dengan manifestasi yang berbeda.

Di era orde baru, pembangunan politik terefleksi dengan cara yang represif dengan memanipulasi ideologi dan kekerasan fisik sehingga tidak manusiawi. Sementara itu, pembangunan ekonomi mengejar pertumbuhan dan mengesampingkan pemerataan yang berkeadilan. Sedangkan, di era reformasi sebagai upaya untuk mewujudkan good governance yang jauh dari praktik KKN, dipraktekkan system politik dan ekonomi yang demokratis dan kapitalistik. Padahal keduanya bertumpu pada liberalisme individu dan marginalisasi Negara. Sebab, pasar dan swasta yang berkuasa.

Karenanya untuk mewujudkan itu membutuh pemimpin berkarakter dan berkomitmen. Bukan pemimpin yang tipikal boneka. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya banyak, wilayahnya luas dan memiliki sumber daya alam yang memadai. Dalam hal pemimpin, Plato memiliki konsep filosofer King yakni yang pantas menjadi raja adalah filsuf. Sebab ia memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan inilah yang saat ini mulai pudar pada pemimpin sekarang.

Sehingga, kendatipun setiap pemimpin nasional yang pernah menjabat di Indonesia, memiliki gagasan untuk Indonesia Raya dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, Namun, di era kepemimpinan saat ini, gagasan bangunlah jiwanya yang di adagiumkan dengan revolusi mental, gagal teraplikasikan. Bukan disebabkan gagasannya yang melangit, tetapi karena faktor kepemimpinan sehingga gagal untuk dibumikan.

Karenanya, Partai Gerindra dalam upaya untuk mewujudkan Indonesia Raya yang pancasilais dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya dengan komando Prabowo Subianto, akan terus berkontribusi sebagai kawah candradimuka. Dan demi melahirkan pemimpin nasional dan lokal dengan visi membangun manusianya dan membangun negaranya atau kotanya secara seimbang dan bersamaan. Semoga!

Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang jatuh pada tanggal 6 Februari 2017, menjadi pertanda sudah sembilan tahun partai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News