Lebaran Lutut

Oleh: Dahlan Iskan

Lebaran Lutut
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Bukan baru sekali atau dua kali. Waktu itu pun kelihatannyi sehat-sehat saja.

Baca Juga:

Istri saya memang pandai menyembunyikan penderitaan. Terutama di depan suami. Itu saya anggap bagian dari kesempurnaan seorang istri.

Maka saya ajak beliau menggelandang ke mana-mana. Turun-naik kereta bawah tanah. Naik-turun tangga. Kejar-mengejar kereta. Bersama cucu kecil yang masih lucu yang sekarang sudah hampir tamat SMA: Icha Iskan.

Akhirnya kami sampai di Forbidden City. Kami memang ke istana kuno 999 kamar itu. Di seberang lapangan Tian An Men, Beijing itu.

Saya ingin jadi tour guide untuk istri dan cucu. Tanpa pendamping dari Tiongkok.

Berjam-jam kami jalan kaki: mengelilingi istana itu. Naik turun pula.

Keluar dari istana tua itu istri saya minta istirahat. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada taksi yang boleh berhenti di kawasan itu. Semua taksi terlihat melaju kencang di jalur cepat.

Kami pun duduk di trotoar lebar. Tempat pemberhentian taksi masih sangat jauh.

GARA-GARA pencapresan mendadak Ganjar Pranowo, naskah Lebaran Lutut ini baru bisa terbit hari ini, padahal ada lagi komentar pembaca yang ingin saya komentari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News