Legislator Ini Bilang Kasus Tolikara Tak Bisa Diselesaikan Secara Adat

Legislator Ini Bilang Kasus Tolikara Tak Bisa Diselesaikan Secara Adat
Naser Jamil. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Naser Jamil secara tegas tidak setuju dengan pernyataan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bahwa penyelesaian kasus Tolikara secara pendekatan adat.

‎Menurut legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, pola yang tepat untuk mencegah insiden serupa tak terulang adalah polri harus tegas menindak para pelaku secara hukum agar menjadi efek jera dan peringatan bagi warga lainnya.    

"Karena kita negara hukum. Maka segala sesuatunya harus diselesaikan secara hukum. Dan hukum harus ditegakkan," kata Naser, di Gedung parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (31/7).
    
Dia menjelaskan, masalah hukum dari insiden tersebut tidak serta merta dapat diselesaikan secara adat.  Sebab, insiden tersebut telah mengakibatkan korban jiwa yang juga dapat memecah belah kesatuan bangsa, dimana insiden tersebut berakibat pembakaran mushola. 
    
Politisi asal Aceh ini kembali menjelaskan, penyelesaian secara adat dalam insiden ini hanyalah salah satu cara, bukan cara utama. Sebab,  adat merupakan kesepakatan bersama setelah proses hukum dilakukan maka baru diselesaikan secara adat. "Prosesnya mendinginkan. Tapi tetap saja hukum harus dikedepankan," tegasnya. 
    
Apabila masalah hukum dapat dikedepannya oleh para penegak hukum dalam insiden Tolikara ini seperti menghukum seberat-beratnya para pelaku, tambahnya, penyelesaian secara adat dapat dilakukan beriringan dengan hukum. "Itu kita terima, itu bagian penyelesaian dan kita harus seiring berjalan. Hukum juga ada," pungkasnya menambahkan.
    
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti resmi melantik Brigjen Pol Paulus Waterpaw sebagai Kapolda Papua menggantikan Irjen Pol Yotje Mende yang telah memasuki masa pensiun. Menurut Kapolri, terdapat tiga hal penting yang harus dilakukan untuk membawa Papua aman sehingga pembangunan bisa dipercepat. 
    
"Pertama masalah komunikasi. Lakukan dengan berbagai unsur yang merupakan center of gravity. Lakukan kepada person di gereja, penting karena masyarakat Papua khususnya di pedalaman, ia tidak tau siapa presiden dan jajarannya, yang orang tau di sana ialah apa kata pedeta dan pastor," kata Kapolri, di Mabes Polri, Jumat (31/7)
    
Kedua, komunikasi terhadap lembaga adat. Sebab, Papua dan Papua Barat adalah wilayah yang lembaga dan adat masih kuat ditaati oleh masyarakat. "Komunikasi dengan unsur pemerintahan penting karena memang Papua sangat khas, terdiri dari berbagai suku yang masing-masing bisa serdiri sendiri," jelasnya.
    
Dan yang terakhir adalah komunikasi terhadap kelompok masyarakat seperti ke civil society dan LSM di Papua. Menurutnya, pendekatan itu sangat baik untuk masyarakat Papua. "Kita tidak sekadar pengamanan, tapi juga membantu mengejar ketertinggalan di Papua," pungkasnya.
    
Sementara itu, Tim Pencari Fakta (TPF) Komite Umat untuk Tolikara (Komat), Papua melaporkan sejumlah kesimpulan terkait insiden yang dinilai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) itu. 
    
Laporan kesimpulan ini, menurut Ketua TPF Ustadz Fadlan Garamatan, menyesuaikan penelusuran langsung di Tolikara yang dilakukan Tim Komat pasca kejadian tersebut. Yang diyakini olehnya sebagai bukan kasus kriminal biasa.
    
"Diduga ada upaya sengaja menciptakan, mengusik kehidupan beragama secara sistematis. Faktanya ada massa yang mengepung jamaah salat Id dari tiga titik. Ada suara komando untuk menyerang," kata Fadlan dalam jumpa pers di Restoran Pulau Dua, Jakarta, kemarin (31/7).
    
Kemudian, pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dinilai melakukan pelanggaran HAM karena menghalangi umat lain untuk beribadah. Terkait ini, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo pantas dijadikan tersangka.
    
"Karena beliau sudah membiarkan, mengabaikan peringatan yang sudah dilakukan Polres sehingga insiden melukai umat Islam ini terjadi. Fakta lain pembakaran dimulai dari rumah ketua DKM yang jaraknya dekat dengan mesjid," sebutnya.
    
Selain itu, kesimpulan lain mesti ada pengusutan tuntas soal motif surat GIDI yang beredar. Fadlan meminta agar kepolisian harus memeriksa dan menjadikan tersangka pihak yang menanda tangani surat tersebut. 
    
Kejanggalan lain, seminar KKR di Tolikara yang dijadikan alasan larangan salat Id tak berizin. Padahal, acara seminar ini dihadiri lebih dari 2000 peserta.  "Itu tidak berizin, ada 2000 peserta di antaranya Israel, Belanda, dan Papua Nugini," ujarnya.
    
Penemuan lain yang diperoleh Tim Komat adalah pengakuan pedagang sembako bernama Ali Usman di Tolikara bahwa surat edaran GIDI mewajibkan pengecatan kios-kios, rumah dengan warna putih biru, mirip bendera Israel. Jika pedagang mengabaikan maka akan didenda sebesar Rp 500 ribu.
    
"Ini motifnya apa kaitannya, tampak sekali kepentingan asing? Ini kan Papua menjadi incaran asing, agar wilayah ini lepas dari Indonesia. Maka pemerintah harus jeli, agar tidak telat," tambah Fadlan. (dil)


JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Naser Jamil secara tegas tidak setuju dengan pernyataan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bahwa penyelesaian kasus


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News