Link and Match Dunia Vokasi Perlu Kompetensi dan Koordinasi Sinergis

Link and Match Dunia Vokasi Perlu Kompetensi dan Koordinasi Sinergis
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah. Foto: Humas FPKS DPR

jpnn.com, JAKARTA - Lulusan yang memiliki link and match dengan dunia kerja menjadi fokus pengembangan pendidikan vokasi dalam tiga tahun terakhir. Dengan menumpukan kegiatan pendidikan 70 persen di lapangan dan 30 persen di kelas diharapkan mampu menelurkan lulusan pendidikan vokasi yang lebih terampil di dunia kerja.

Sayangnya fakta menunjukkan bahwa lulusan SMK, salah satu sekolah dengan sistem pendidikan vokasi, justru menyumbang angka pengangguran tertinggi di negeri ini.

“Fakta ini menunjukkan masih ada ketimpangan dalam konsep link and match antara dunia sekolah dengan dunia usaha dan dunia industri. Padahal sistem pendidikan vokasi sudah mengakomodir 70 persen praktik lapangan dan 30 persen teori. Artinya masih ada yang tidak klop dengan konsep link and match ini, bisa dari soal kerja lapangannya, tenaga kependidikannya maupun dari kurikulumnya,” kata anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam keterangan persnya, Kamis (19/12).

Ledia menguraikan, meskipun 70 persen waktu siswa digiatkan dalam kerja praktik lapangan namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan mitra yang memperlakukan siswa hanya sebagai helper, bukan sebagai siswa magang yang tengah memenuhi target kerja sesuai kurikulum.

“Dari berbagai masukan dan serap aspirasi terungkap kalau Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang menjadi mitra sekolah kerap hanya menjadikan anak-anak magang sebagai helper, tenaga bantu-bantu di beberapa unit. Kadang bahkan tidak berkesuaian dengan rencana ajar, yang penting magang. Padahal siswa magang seharusnya memiliki rencana, target dan evaluasi pencapaian yang ditentukan dan terukur, serta sebelum magang antara sekolah dengan mitra DUDI sudah ada kesepahaman akan rencana, target dan evaluasi pencapaian praktek lapangan dari siswa tersebut,” katanya.

Ledia juga mengingatkan tentang kompetensi guru. Menurutnya, guru yang mengajar pada sekolah vokasi perlu ditingkatkan keahliannya, di antaranya dengan memastikan mereka memperoleh pelatihan yang tepat sampai memiliki sertifikat kompetensi yang sesuai dengan bidang ajar.

Sebab hampir semua sekolah vokasi memiliki jumlah guru yang cukup untuk mengajar tetapi ternyata banyak diantara para guru ini belum memiliki sertifikat kompetensi yang berkesesuaian.

“Padahal logikanya kalau siswa didorong untuk menjadi terampil dan ahli tenaga pengajarnya harus lebih terampil dan ahli dong. Salah satunya ya dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang dimiliki,” katanya

Meskipun 70 persen waktu siswa digiatkan dalam kerja praktik lapangan namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan mitra yang memperlakukan siswa hanya sebagai helper, bukan sebagai siswa magang yang tengah memenuhi target kerja sesuai kurikulum.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News