Luhut Presiden

Oleh: Dahlan Iskan

Luhut Presiden
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya tahu jam itu Robert Lai lagi sibuk dengan Dorothy, istrinya. Mereka ke dokter di jam yang sama.

Baca Juga:

Saya mencegahnya memaksa menjemput. Kan, ada Meiling.

Masih ada waktu satu jam. Saya dibawa ke Kampung Arab. Makan paha kambing panggang. Roti maryam. Teh tarik. Restonya persis di seberang Masjid Sultan –berkapasitas 5.000 orang.

Dahulunya Istana Singapura di sebelah masjid itu. Boleh dikata inilah ''kota bisnis'' pertama Singapura di masa lalu. Sebelum belakangan bergeser ke Orchard Road.

Di rumah sakit saya dijemput dokter Pak Luhut di lobi. Tinggi. Ganteng. Muda. Badan langsing berotot. Dari Jakarta. Alumnus UKI. Ahli fisioterapi.

Saya tidak punya kartu pembuka penyekat lobi. Maka harus ada yang menjemput.

Untuk naik ke lantai 8. Di lobi saya tidak bertemu orang Indonesia satu pun. Beda dengan di RS Mount Elizabeth. Tidak sengaja tertabrak pun pasti itu orang Indonesia.

Saya hafal rumah sakit ini: pernah dirawat di sini satu minggu. Sekitar 17 tahun lalu. Waktu itu saya baru selesai operasi transplantasi hati di Tianjin. Berhasil.

Saya tidak memberi tahu bahwa yang akan saya besuk ialah Menko Marves, jenderal bintang empat, orang kepercayaan Presiden Jokowi, tokoh serbabisa: Luhut Binsar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News