Meliput Kawasan Nikel di Indonesia, Mendengar Kisah Kehidupan Manusia
Suara Astia, perempuan Bajo dengan tiga anak yang tinggal di Kurisa, sekitar 2 kilometer dari IMIP, bergetar saat dia menceritakan sulitnya hidup sebagai orang Bajo ketika lautnya telah tercemar.
Putri, yang terjebak tawaran kerja dan berakhir menjadi wanita penghibur menangis terisak-isak saat ia mengulang isi doanya pada saya, meminta Tuhan menghalalkan uang yang didapatnya.
Fatiamah, penjual buah di depan pabrik dan asrama VDNI di Morosi mengusap air matanya ketika menceritakan bagaimana ia hanya bisa mengandalkan putri terkecilnya yang berusia 11 tahun untuk mencari uang dari berjualan buah.
Tentu banyak dari mereka yang juga sangat kuat, tegar, serta gigih mempertahankan kehidupan mereka di sarang nikel, dan dengan yakin mengartikulasikan apa yang mereka tuntut.
Tapi ada juga Jupri, petani padi di Pomalaa.
"Mbak tidak boleh tanya begitu. Saya juga tidak boleh berpikir begitu," jawab Jupri, ketika saya bertanya apakah dia terpikir untuk meminta operasi tambang yang membuat sawahnya kebanjiran "air merah" dihentikan.
Matanya menatap saya dalam-dalam, seakan tidak percaya mendengar pertanyaan saya.
"Kenapa enggak boleh, Pak?" tanya saya, juga keheranan.
Hampir semua narasumber menangis saat menuturkan cerita mereka. Cerita bagaimana tambang nikel dan smelter nikel membuat hidup mereka tidak lagi sama seperti yang dulu.
- Ketika Yahudi Australia Berubah Pikiran soal Israel, Simak Ceritanya
- Dunia Hari Ini: Rekor Roti Terpanjang di Dunia Dipecahkan di Prancis
- Pembangunan Pelabuhan Smelter Nikel MMP Selesai dalam 15 Bulan
- Dunia Hari Ini: Israel Serang Rafah, Meski Hamas Setujui Gencatan Senjata
- Dunia Hari Ini: Lebih dari 70 Orang Tewas Akibat Banjir di Brasil
- Dunia Hari Ini: Indonesia Kalah Melawan Irak Dalam Piala Asia U-23