Meliput Kawasan Nikel di Indonesia, Mendengar Kisah Kehidupan Manusia

Meliput Kawasan Nikel di Indonesia, Mendengar Kisah Kehidupan Manusia
Ilustrasi bijih nikel. Foto: CARLOS ALONZO / AFP

Suara Astia, perempuan Bajo dengan tiga anak yang tinggal di Kurisa, sekitar 2 kilometer dari IMIP, bergetar saat dia menceritakan sulitnya hidup sebagai orang Bajo ketika lautnya telah tercemar. 

Putri, yang terjebak tawaran kerja dan berakhir menjadi wanita penghibur menangis terisak-isak saat ia mengulang isi doanya pada saya, meminta Tuhan menghalalkan uang yang didapatnya.

Fatiamah, penjual buah di depan pabrik dan asrama VDNI di Morosi mengusap air matanya ketika menceritakan bagaimana ia hanya bisa mengandalkan putri terkecilnya yang berusia 11 tahun untuk mencari uang dari berjualan buah.

Tentu banyak dari mereka yang juga sangat kuat, tegar, serta gigih mempertahankan kehidupan mereka di sarang nikel, dan dengan yakin mengartikulasikan apa yang mereka tuntut. 

Tapi ada juga Jupri, petani padi di Pomalaa.

"Mbak tidak boleh tanya begitu. Saya juga tidak boleh berpikir begitu," jawab Jupri, ketika saya bertanya apakah dia terpikir untuk meminta operasi tambang yang membuat sawahnya kebanjiran "air merah" dihentikan.

Matanya menatap saya dalam-dalam, seakan tidak percaya mendengar pertanyaan saya. 

"Kenapa enggak boleh, Pak?" tanya saya, juga keheranan.

Hampir semua narasumber menangis saat menuturkan cerita mereka. Cerita bagaimana tambang nikel dan smelter nikel membuat hidup mereka tidak lagi sama seperti yang dulu.

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News