Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka

Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka
VELIX WANGGAI, Doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta

Generasi 45 dikenang sebagai sebagai generasi emas yang mengubah nasib bangsa ini. Pada titik ini, kita menyimak wajah transformasi Indonesia dalam empat aspek yang strategis.

Pertama, peran dan profil Indonesia meningkat di panggung global. Wajah kita di dunia internasional ini sangat relevan dengan misi besar kita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia, dan keadilan sosial.

Peran internasional Indonesia ini tidak terlepas dari prinsip dasar bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia. Prinsip yang digagas oleh Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta, di tahun 1947 dalam pidatonya, "Mendayung di antara Karang" sebagai renungan dalam menyikapi persaingan antara Blok Kapitalisme Barat dan Blok Komunisme Timur. Napas inilah yang melatari Presiden Sukarno dalam menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955. Demikian pula, berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), 8 Agustus 1967, tidak terlepas dari peran penting pemerintahan Presiden Suharto.

Dalam konteks peran politik luar negeri Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjelaskan peran internasional Indonesia yang telah dijalankan dewasa ini, yakni membangun jembatan dialog antar peradaban (bridge builder), membangun perdamaian (peace maker), membangun konsensus (consensus builder) dan menyuarakan aspirasi dari negara-negara berkembang (voice of the developing world).

Dari sisi consensus builder, Indonesia berhasil untuk membangun sebuah konsensus global atas dasar visi. Hal itu tercermin ketika negosiasi soal perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim ke-13 yang digelar oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Bali, pada pertengahan Desember 2007. Indonesia juga menjalankan peran sebagai bridge builder. Indonesia memainkan pendekatan soft power untuk membangun jembatan dialog antar peradaban, Barat dan dunia Muslim.

Indonesia juga menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang (voice of the developing world), baik di Gerakan Non-Blok, G-77, APEC, dan G-20. Suara dari negara-negara berkembang semakin dipromosikan oleh Indonesia ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai co-chair High Level Panel of Eminent Persons untuk merumuskan visi besar dari agenda pembangunan paska 2015. Alhasil, PBB meluncurkan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, menggantikan MDGs 2015. Dan kini, sejak 4 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kedua, Indonesia melakukan transformasi sistem pemerintahan dari model yang sentralistik menuju model desentralistik. Kita mencatat bahwa dinamika hubungan antara Pusat - Daerah menjadi agenda menarik dalam perjalanan 72 Indonesia merdeka. Tarik menarik otoritas, bahkan sejumlah konflik vertikal di daerah-daerah di Indonesia disebabkan oleh perasaan ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara pusat dan daerah.

Pasca reformasi 1998, ketika itu Presiden B.J. Habibie mengubah hubungan pusat - daerah secara drastis. Ia menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun dengan perkembangan keadaan, pada 15 Oktober 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri mensahkan regulasi baru, menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat - Daerah.

Oleh: Velix Wanggai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News