Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka

Membaca 72 Tahun Indonesia Merdeka
VELIX WANGGAI, Doktor hubungan internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta

Setelah berjalan 10 tahun, regulasi otonomi daerah ini ditata kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi 3 undang-undang yang terpisah, baik UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, maupun UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga regulasi itu membuat wajah Indonesia semakin desentralistik.

Indonesia juga mengelola hubungan pusat - daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Pasca pasca reformasi 1998, Indonesia menghadirkan regulasi khusus untuk Aceh melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Namun, konflik yang berkepanjangan di Aceh menjadi sebuah pekerjaan rumah. Dengan pendekatan soft power, akhirnya lahir UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sementara itu, sejalan dengan kebijakan asymmetrical autonomy, akhirnya lahir UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketiga, profil ekonomi Indonesia meningkat di panggung global dan regional. Struktur ekonomi Indonesia mengalami transformasi yang pesat. Dalam konteks Asia, ekonomi Indonesia tumbuh dari negara yang terbelakang, akhirnya Indonesia tumbuh sebagai middle-income country, dan berada di posisi ekonomi ke-16 terbesar dunia.

Demikian pula, perhatian serius ditujukan terhadap penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pembangunan jaminan sosial. Hal itu ditandai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Bahkan, dianggap sebagai sistem Jaminan Kesehatan terbesar di dunia.

Wajah ekonomi Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari perjalanan panjang fondasi ekonomi nasional dan struktur perencanaan pembangunan nasional sebagai peta jalan pembangunan dari waktu ke waktu.

Di era Presiden Sukarno, terdapat Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebagai haluan negara. Hal ini diikuti dengan pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 1963. Memasuki era Orde Baru, Presiden Suharto lebih menekankan pembangunan nasional yang bertahap secara kaku melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Transisi pemerintahan di tahun 1998 telah berimplikasi terhadap pola pembangunan nasional. Di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri, telah menjadikan dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai haluan dalam mengelola pembangunan.

Oleh: Velix Wanggai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News