Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*

Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya
Presiden Joko Widodo dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sebuah pertemuan konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara pada 2015. Foto: dokumen JPNN.Com

Selain tarif, pengelolaan jalan tol di Indonesia juga ganjil, karena status jalan tol di kita sepertinya tak mengenal masa kedaluwarsa. Sesudah konsesinya habis, biasanya hanya operatornya yang berganti. Tapi, jalan tolnya tetap digunakan sebagai jalan tol oleh pemerintah, bukan diubah jadi jalan umum biasa. Ini sebenarnya tak lazim dan merugikan masyarakat.

Bagi saya, inkonsistensi serta paradoks-paradoks itu menunjukkan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sebenarnya memang tak punya konsep. Tak mengherankan jika sepanjang tahun 2017 ini rapor ekonomi pemerintah cukup buruk.

Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan akan bertahan di angka 5,05 persen. Angka ini tak jauh berbeda dengan pertumbuhan tahun 2016 yang sebesar 5,02 persen. Jadi, perekonomian kita sepanjang tahun ini sebenarnya stagnan.

Konsumsi rumah tangga yang biasanya jadi motor pertumbuhan, sepanjang tahun ini dihantam oleh pelemahan daya beli sehingga kini kontribusinya turun. Pemerintah memang berkali-kali membantahnya. Tapi, tutupnya sejumlah supermarket dan gerai retail menunjukkan daya beli masyarakat memang benar-benar sedang tertekan.

Ekonomi kita memang sedang lesu. Namun pemerintah harus menyadari kebijakan fiskal yang ketat dalam tiga tahun terakhir tak bagus bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk merangsang kegiatan ekonomi masyarakat dan memecahkan persoalan mendesak jangka pendek. Tidak seharusnya di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan penerimaan negara, pemerintah terus-menerus memprioritaskan anggaran untuk belanja infrastruktur.

Selain itu, di tengah kelesuan ekonomi, pemerintah seharusnya tak menambah beban masyarakat dengan kenaikan berbagai tarif, pungutan, serta pajak. Rencana kenaikan tarif terselubung melalui penyederhanaan golongan listrik di bawah 5.500 VA, misalnya, yang rencananya diberlakukan tahun depan, seharusnya dibatalkan. Sebab semakin memukul daya beli masyarakat yang akhirnya berimbas negatif bagi perekonomian.

Saya kira Presiden Jokowi harus mengevaluasi para menteri dan penasihat ekonominya. Mereka terlalu textbook thinking, sehingga gagal memahami struktur perekonomian kita.

Pemerintahan Jokowi yang mulanya mengusung jargon Revolusi Mental, ternyata fokus mengejar pembangunan infrastruktur. Kini, Revolusi Mental tak terdengar lagi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News