Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*

Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya
Presiden Joko Widodo dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sebuah pertemuan konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara pada 2015. Foto: dokumen JPNN.Com

Pertumbuhan GDP, misalnya, bukanlah ukuran perkembangan ekonomi yang akurat, sehingga tak pantas didewa-dewakan oleh teknokrat kita. Mengingat struktur perekonomian kita, besaran GDP lebih mewakili ‘pertumbuhan ekonomi orang asing di Indonesia’, ketimbang mewakili pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri.

Pembangunan infrastruktur mendesak segera dievaluasi. Selama ini, bertambahnya utang, melambatnya pertumbuhan, berkurangnya anggaran subsidi, oleh pemerintah sering dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur.

Saya menilai, pembangunan infrastruktur telah dijadikan dalih atas setiap kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji serta kewajiban-kewajibannya. Ini tak bagus.

Apalagi, saya baca, sampai 31 November 2017, dari 245 proyek proyek strategis nasional yang dicanangkan pemerintah, ternyata baru empat yang selesai. Sementara sisanya masih dalam tahap konstruksi, tahap transaksi, dan 87 bahkan masih tahap persiapan. Jadi, meski klaimnya telah dikebut pemerintah, kenyataannya progres proyek-proyek itu sangat lambat.

Di sisi lain, klaim tentang pembangunan infrastruktur sebenarnya perlu dipertanyakan kembali. Pemerintah sering menyatakan anggaran infrastruktur meningkat tajam jika dibandingkan periode sebelumnya. Menteri keuangan, misalnya, pernah merilis pernyataan antara 2015 - 2017 alokasi dana pembangunan infrastruktur dalam APBN meningkat 127 persen dibandingkan dengan 2011-2014.

Apakah klaim itu bisa dipertanggungjawabkan? Sebab, saya baca beberapa kajian, pemerintahan Presiden Jokowi ternyata telah melakukan perubahan definisi anggaran infrastruktur, sehingga klaim-klaim tadi patut dicurigai tak akurat.

Dalam nomenklatur APBN kita, misalnya, hanya ada 11 klasifikasi fungsi belanja pemerintah pusat, di mana infrastruktur bukan salah satunya. Sebelum masa pemerintahan Jokowi, yang disebut sebagai anggaran infrastruktur biasanya adalah belanja modal yang dapat dikategorikan belanja fisik.

Namun, di era pemerintahan Jokowi, perkiraan alokasi Dana Transfer Umum (DTU) dan sebagian besar alokasi belanja barang juga dianggap sebagai belanja infrastruktur. Angka dua pos ini kebetulan cukup besar. Sehingga, kemungkinan hal inilah yang telah membuat anggaran infrastruktur di era pemerintahan sekarang kesannya seolah membengkak.

Pemerintahan Jokowi yang mulanya mengusung jargon Revolusi Mental, ternyata fokus mengejar pembangunan infrastruktur. Kini, Revolusi Mental tak terdengar lagi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News