Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif

Mendesain Pembiayaan Pemilu Efektif
Lukman Edy. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Ada dua istilah yang belakangan berkembang dikalangan politisi, berkaitan dengan pembiayaan, yakni “biaya politik” dan “money politic”.

Biaya politik (political cost) diterjemahkan sebagai kegiatan pendanaan yang berkaitan dengan operasional kegiatan-kegiatan politik, mulai biaya perjalanan, biaya sosialisasi, biaya pendidikan kader, biaya kampanye, hingga biaya saksi pemilu di TPS dan biaya lain terkait dengan kerja-kerja politik.

Sedangkan money politic dipahami sebagai “uang sogok”, “uang riswah”, “uang pelicin” dan pengertian lain yang berkonotasi untuk membeli suara atau kegiatan lain pendanaan politik terhadap kegiatan politik tidak resmi dan cara-cara menang “di bawah tangan”.

Sama-sama uang dan dana yang dikeluarkan, tetapi berbeda dalam pengertian dan konsekuensi. Bila yang pertama, biaya politik, dipandang boleh, halal, dan sah di muka hukum; sementara yang kedua, money politic dipandang sebagai perbuatan melawan hukum, tindak pidana pemilu yang bahkan dapat mengancam keabsahan kepesertaan pemilu baik individu maupun partai politik. Dalam konteks tulisan ini, penulis akan membahas terminology pertama sebagai pokok bahasan.

Persoalan biaya politik di dalam pengaturan politik selalu mempunyai dua sisi yang berlawanan. Satu sisi semua orang tahu bahwa partai politik maupun politisi membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan biaya politik, disisi yang lain partai politik tidak boleh mengelola bisnis karena dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan menggunakan kekuasaanya demi kepentingan bisnis yang dikelolanya. Satu-satunya sumber dana partai dari luar kemudian adalah sumbangan “yang tidak mengikat”.

Masalahnya, semua partai politik membutuhkan sumbangan dana yang sangat besar, padahal semakin besar sumbangan dana yang diterima, maka semakin terikat partai politik tersebut terhadap kepentingan-kepentingan politik penyumbang terbesarnya.

Ada adagium dalam politik yang sangat kuat mempengaruhi "no such free lunch", tidak ada makan siang yang gratis. Begitu juga sumbangan dana partai politik dan dana kampanye, pasti menuntut "kickback" yang setimpal dalam bentuk kekuasaan untuk merumuskan kebijakan publik yang bersahabat bagi para penyumbang.

Jika kejadiannya demikian, maka posisi uang dalam dunia politik dengan mudah dapat membajak demokrasi. Prinsip demokrasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, one person one vote and one value, bisa dengan mudah menjadi tidak bermakna manakala sumbangan seseorang pada partai politik bisa menentukan arah kebijakan partai politik dalam merumuskan kebijakan publik. Partai politik bisa tersandera oleh kepentingan penyandang dana.

Ada dua istilah yang belakangan berkembang dikalangan politisi, berkaitan dengan pembiayaan, yakni “biaya politik” dan “money politic”.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News