Menengok Kehidupan Minoritas Muslim di Pedalaman Australia
"Kami dikenalkan satu sama lain, saling mencintai, dan akhirnya saya melamar dia," kata Anas. "Kami menikah dan tinggal di Suriah selama dua tahun."
Kimberly sendiri memeluk Islam di usia 18 tahun, jauh sebelum ia bertemua Anas.
"Saat itu saya baru tamat SMA, dan mencari makna hidup saya," jelas Kimberly.
"Guru agama saya orang Suriah, jadi saya pergi ke sana untuk belajar agama dan merasakan kehidupan dalam budaya yang berbeda,' katanya.
Suami-istri ini pindah ke Ararat dari Kota Bendigo tiga bulan lalu, bersama tiga anak mereka. Kimberly kini sedang hamil anak keempat.
Kehidupan mereka sama belaka dengan pasangan keluarga muda lainnya - bekerja, antar-jemput anak ke sekolah, belanja, memasak dan kegiatan keluarga lainnya.
Mereka mengaku lebih rileks menjalani kehidupan di kota pedalaman ini dibandingkan dengan kota besar seperti Melbourne.
Namun tantangannya, tidak semua warga memiliki pemahaman yang luas mengenai perbedaan agama seperti pada umumnya warga di perkotaan.
Saban hari Jumat di Kota Ararat - 50an warga Muslim berkumpul di sebuah bangunan kecil dekat stasiun kereta. Demikianlah suasana ibadah mingguan
- Tanggapan Mahasiswa Asing Soal Rencana Australia Membatasi Jumlah Mereka
- Bakamla RI Menjemput 18 Nelayan Indonesia di Australia, Lihat
- Polda NTT Periksa 6 WNA Asal Tiongkok
- Ketika Yahudi Australia Berubah Pikiran soal Israel, Simak Ceritanya
- Sarung Tangan Buatan Perusahaan Asal Yogyakarta Ini Sukses Merambah Pasar Australia
- Ini Motif Bule Australia Menganiaya Sopir Taksi di Bali