Mengenal Trio Paramita, Tiga Bersaudara Gemologist Indonesia

Kantongi Rekor Tentukan Keaslian Berlian 40 Karat

Mengenal Trio Paramita, Tiga Bersaudara Gemologist Indonesia
Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita. Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos

Usaha itu lantas dilanjutkan ayahnya, Mahardi. Namun, setelah meraih gelar sarjana dari Hawaii University dan gelar graduate gemologist dari Gemological Institute of America (GIA) pada 1981, Mahardi fokus pada pengembangan laboratorium dan institusi pendidikan gemologi di Indonesia.

Sumarni mulai aktif menggeluti dunia batu mulia pada 1990, saat usianya masih 17 tahun. Awalnya dia mengaku sekadar ingin membantu ayahnya yang kerepotan mengelola laboratorium dan institut sekaligus. ”Setelah serius menggeluti, saya jadi tertarik. Sebab, ini profesi unik dan menantang,” katanya.

Selain belajar langsung dari sang ayah, pada 1994 Sumarni membekali diri dengan pendidikan formal di dua sekolah gemologi sekaligus, yakni GIA dan Asian Institute of Gemological Science (AIGS). Keduanya memiliki kampus di Bangkok, Thailand. Biaya pendidikan di dua sekolah ternama itu tidak murah, sekitar USD 20 ribu atau Rp 260 juta (kurs Rp 13.000 per 1 USD).

Menurut Sumarni, industri batu mulia Thailand memang jauh lebih maju daripada Indonesia. Bahkan, Bangkok kini menjadi pusat perdagangan batu permata dunia. Bangkok hanya kalah oleh Hongkong yang menjadi pusat perdagangan berlian dunia. ”Dibanding Thailand, industri batu mulia kita tertinggal 30 tahun,” jelas dia.

Selain dari sisi perdagangan, Indonesia kalah dari sisi ilmuwan atau gemologist. Apalagi, jumlah gemologist bersertifikat di Indonesia masih sedikit. Itu pula yang mendorong pengembangan Institute Gemology Paramita. Meski pelajaran yang diberikan tidak sekomprehensif di GIA dan AIGS yang membutuhkan waktu belajar intensif hingga delapan bulan, Institute Gemology Paramita setidaknya bisa memberikan pengetahuan dasar bagi para pedagang dan pencinta batu mulia untuk mengenali barang asli atau palsu.

Ada empat jenis utama batu mulia dengan grade atau tingkat tertinggi, yakni berlian, ruby, sapphire, dan emerald. Sumarni mengatakan, mempelajari berlian lebih rumit daripada batu permata lainnya. Misalnya, untuk pengetahuan dasar tentang berlian, dibutuhkan sepuluh kali pertemuan perkuliahan, masing-masing tiga jam, untuk mempelajari faktor 4C. Yakni clarity (kejernihan), color (warna), cut (potongan), dan carat (karat).

Pengetahuan dasar itu juga menjadi metode penentuan berlian asli atau palsu. Sedangkan untuk mempelajari batu permata seperti ruby, sapphire, dan emerald, dibutuhkan dalam tiga kali pertemuan, masing-masing tiga jam.

Menurut Sumarni, seiring majunya teknologi, proses identifikasi batu permata juga kian sulit karena makin banyak batu permata sintetis yang mirip sekali dengan aslinya. Misalnya, dengan penambahan serat batu, yang palsu terlihat seperti batu asli. Apalagi, banyak beredar batu palsu yang mengalami proses treatment di laboratorium untuk meningkatkan kualitasnya. ”Jenis batu aspal (asli tapi palsu) ini sulit diidentifikasi,” ujarnya.

Gemologist termasuk profesi langka. Di Indonesia, jumlah ilmuwan batu mulia bersertifikat itu bisa dihitung dengan jari. Di antara yang sedikit tersebut,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News