Mengingat Kembali Sang Pendekar Pena

Mengingat Kembali Sang Pendekar Pena
Menpora Imam Nahrawi. Foto: Kemenpora

Sebagai seorang penulis, kepiawaian Mahbub Djunaidi tidak ada yang meragukannya lagi. Ia adalah ‘mazhab’ penulisan kolom di Indonesia. Kalau di Amerika ada Art Burchwat maka di Indonesia ada Mahbub Djunaidi yang cerdas, tajam, aktual, dan yang penting lucu.

Mahbub Djunaidi barangkali sedang berakrobat saat sedang menulis. Ibarat seorang jawara atau pendekar silat, ia tak pernah kehabisan jurus. Selalu ada dan terus ada.

Di banyak tulisan-tulisannya, Mahbub Djunadi –sebagaimana yang dia akui bahwa ia seorang generalis, bukan spesialis- mengarahkan pandangan dan pengamatannya di hampir semua bidang. Ekonomi, politik, hukum, pendidikan, olahraga, film, sastra, dan hingga soal remeh temeh seperti keberadaan jembatan. Luasnya bidang yang menjadi objek garapan dan pandangannya tersebut, uniknya tidak pernah memengaruhi cara pandang khas Mahbub Djunaidi yang selalu bisa mengemas dengan mudah, simpel dan tidak rumit untuk dipahami

“Tidak ada hubungannya antara pintar sama ruwet. Orang-orang pintar adalah orang yang bicaranya bisa dipahami. Orang yang tidak bisa dipahami ya namanya orang ruwet,” begitu tulis Mahbub Djunaidi dalam salah satu kolomnya di Kompas pada tahun 1987.

Mahbub Djunadi hidup. Ia tidak mati. Sebab nilai-nilai, contoh keteladanan, dan juga misi perjuangannya bersemai dan terus menyebar di seantero penjuru negeri hingga saat ini. Tulisan-tulisannya yang membuat ia abadi.

Dalam buku “Bung Memoar tentang Mahbub Djunaidi” ada banyak kebahagiaan yang telah dituliskan oleh keluarga, sahabat, kolega dan bahkan para penggemarnya di era sekarang ini. Sosok Mahbub memang tak pernah habis untuk diperbincangkan. Tulisannya yang segar, humornya kadang membuat kita terhenyak. Ia sosok idealis, yang selalu memperjuangkan humanisme, egaliter, berada di garis terdepan melawan segala bentuk ketidakadilan dan feodalisme.

Buku ini dihadirkan untuk mengenang sekaligus mencoba melihat sisi lain seorang Mahbub Djunaidi di mata keluarga dan orang-orang yang sempat mengenal almarhum (Mirasari Djunaidi, hlm. 99). Namun sayangnya, rekaman kehidupan keseharian Mahbub ini tidak terlalu mendominasi isi buku.

Patut disyukuri, kehadiran buku ini semakin melengkapi keberadaan buku biografi Mahbub Djunaidi yang sudah terlebih dahulu meluncur ke publik, yakni Surat-Surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi (1996) dan Mahbub Djunaidi; Seniman Politik dari Kalangan NU Modern (2001). Selamat membaca.

Mahbub Djunaidi, sosok aktivis dan politisi, lebih dikenal lewat tulisan-tulisannya yang satir dan jenaka.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News