Menjadi Orang Kuat dan Sanggup Memaafkan

Menjadi Orang Kuat dan Sanggup Memaafkan
AS.Laksana

’’Aku gugup sekali,’’ kata Michael. Dia mengangkat muka sejenak dan menunduk lagi.

Janice merentangkan tangannya lebar-lebar dan memeluknya kuat-kuat, kemudian mereka bercakap-cakap di teras rumah. Michael menceritakan bahwa adik lelakinya, 22 tahun, meninggal ditembak orang dan dia tak yakin akan sanggup memaafkan pelaku penembakan itu seperti Kevin dan Janice memaafkannya.

’’Kevin yang memulai semua,’’ kata Janice. ’’Dia ingin saya memaafkan. Ketika dia meninggal, saya sungguh ingin mengamuk lagi, tetapi itu sulit sekali. Saya sudah tidak memiliki kemarahan lagi di dalam hati saya.’’

Michael jujur dengan dirinya. Karena itu, dia memilih pergi jauh-jauh dari kampungnya dan hidup bersama pasangan dan ketiga anak mereka. Dalam kasus ini, Anda tahu bahwa memaafkan memang tidak segampang berkirim pesan singkat: ’’Kosong-kosong, ya.’’

Kita mengangguk setuju terhadap ucapan Mahatma Gandhi bahwa memberikan maaf hanya bisa dilakukan oleh orang kuat, bukan orang yang lemah. Kita senang mendengar Nelson Mandela mengatakan, ’’Rekonsiliasi berarti kita bekerja bersama-sama untuk mengoreksi warisan buruk masa lalu,’’ dan kita tahu dia jujur dalam menyampaikan hal itu.

Dan memaafkan, sekali lagi, adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat. Anak saya sudah tertidur ketika saya mengakhiri cerita yang saya karang asal-asalan dengan kalimat si lelaki tua perawat kebun.

’’Entah anak-anak itu sengaja atau tidak, maafkanlah mereka,’’ kata lelaki tua itu. ’’Maafkanlah mereka seperti bunga-bunga melakukannya. Mereka tetap memberikan bau harum meskipun diinjak-injak. Karena itu yang mereka punya.’’ (*)

Akun twitter: @aslaksana

LEBARAN tiba lagi dan kita kembali saling menyampaikan kata maaf, sesuatu yang rutin setahun sekali. Sebagian orang bisa makan enak dan tersenyum

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News