Menjadi Pak RT di Masa Pandemi

Oleh: Muhammad Muchlas Rowi, Ketua RT 10/RW 14 Cakung Timur dan Komisaris Independen PT Jamkrindo

Menjadi Pak RT di Masa Pandemi
Komisaris Independen Jamkrindo Muhammad Muchlas Rowi. Foto: dok pribadi for JPNN

Apalagi jika melihat tenaga medis dan rumah sakit sebagai benteng terakhir amat kewalahan saat ini. Kita semua harus bergerak. Mengembalikan spirit awal dibentuknya organisasi level terendah, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Apalagi sejatinya, penanganan wabah, atau situasi darurat melalui organisasi level terendah yang dahulu bernama tonarigumi, telah membuktikan efektivitasnya sejak lama. M. C. Ricklefs adalah seorang ahli sejarah, dalam bukunya ‘Sejarah Indonesia Modern’ pernah bilang, jika Tonarigumi berguna untuk ‘mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan.

Sementara menurut catatan Pakar Ketimuran berkebangsaan Perancis, Denys Lombard RT dan RW erat kaitannya dengan keamanan dan pengawasan setelah Indonesia Merdeka. Sistem ini memungkinkan sebuah pengawasan super ketat dari warga masyarakat. Meski raison d’etre-nya adalah pertahanan sipil, namun di masa Pandemi Covid-19 sistem ini dapat menjadi lebih efisien.

Dalam konteks penanganan wabah Covid-19, melalui sistem ini kita bisa melakukan koordinasi tanpa tatap muka atau online dengan warga. Betul bahwa koordinasi ini bisa dilakukan dalam bentuk grup-grup whatsup. Tapi tanpa kepemimpinan yang terstruktur, komunikasi pun jadi buntu dan nir solusi.

Lewat sistem tonarigumi, program vaksinasi juga dapat didorong lebih kuat. Edukasi bisa dilakukan secara daring, lalu praktinya bisa dilakukan secara luring.
Proses identifikasi dan pendataan juga dapat dilakukan lebih mudah melalui sistem ini. Kita bisa mengkategorisasi warga dengan gejala dan warga dengan resiko tinggi Covid-19. Sementara melalui upaya serupa, kita juga bisa menetapkan mana warga yang telah terpapar yang laik melakukan isolasi mandiri. Sehingga tak perlu harus ke rumah sakit.

Hal paling penting yang bisa kita lakukan melalui sistem ini adalah mengedukasi warga agar tidak memberi stigma buruk terhadap warga yang terpapar virus Covid-19. Terkena Covid-19 bukanlah aib, melainkan musibah. Ini bisa kita lakukan lewat WAG, agar lebih efektif.

Melapor ke layanan kesehatan terdekat juga upaya penting lain yang bisa dilakukan di sistem ini. Ini dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa para pasien Covid-19 harus dibawa ke rumah sakit. Di era terkini, apalagi jika gejala ringan, semua bisa dilakukan secara online. Apalagi ada informasi berbasis tonarigumi tadi. Konsultasi bisa dijadwalkan dan dilakukan secara daring, lalu obat bisa dibuatkan sesuai gejala.

Pada akhirnya, kepekaan dan kepedulian lah yang akan sangat menentukan. Apakah kita bisa melewati wabah yang gila-gilaan ini lebih cepat. Atau menunggu semua orang terkena, dan sistem alam bekerja. Menseleksi orang-orang terdekat kita. Yang kuat bertahan, yang lemah hilang selamanya. (***)

Menjadi RT di tengah pandemi memang tak mudah. Apalagi di tengah kesibukan lain baik karena pekerjaan yang tetap menumpuk, tugas kuliah yang menggunung, maupun jadwal mengajar yang berderet-deret.


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News