Menyelisik Proyek Sosial Kerja Sama LNG Tangguh dan Pemkab Teluk Bintuni

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., CN., M.Hum, Anggota DPD RI Provinsi Papua Barat

Menyelisik Proyek Sosial Kerja Sama LNG Tangguh dan Pemkab Teluk Bintuni
Senator dari Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Dokpri for JPNN.com

Apa yang tertuang dalam konstitusi tersebut sejatinya memosisikan masyarakat adat beserta hak dan kehidupannya sebagai hal sentral dalam pembangunan, termasuk dalam posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan hutan adat. Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Industri Primer Hasil Hutan menyebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Selanjjtnya, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

Pasal 4 Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Industri Primer Hasil Hutan menyebutkan bahwa bahan baku hasil hutan kayu dari sumber yang sah untuk IPHHK dapat berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK- HTR, IUPHKm pada hutan produksi, HPHD pada hutan produksi, Pengelola Hutan, Hutan Hak/Hutan Rakyat hasil budidaya, Hutan Adat dengan fungsi produksi, perkebunan, dan/atau Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 ayat (1) huruf h menyebutkan bahwa pemegang izin tersebut harus melakukan kerjasama atau kemitraan dengan masyarakat untuk pengadaan bahan baku dari hasil pembangunan hutan tanaman, hutan desa, hutan kemasyarakatan, Hutan Hak/Hutan Rakyat, atau Hutan Adat dengan fungsi produksi.

Kerja sama ini tentu saja diikat dengan perjanjian. Celakanya, sebagaimana diadukan oleh masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona, kerjasama tersebut dicederai dengan wanprestasi dari PT Sorong Raya Konstruksi.

Tidak cukup sampai di situ, fakta hukum adanya IPHK dan telah memungut hasil hutan kayu sebanyak 1.000 meter kubik, menunjukkan adanya keanehan dan berpeluang ke arah illegal loging. Ada 3 (tiga) instrumen hukum untuk menjerat illegal loging semacam ini yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Inpres Nomor 4/2005 tentang Koordinasi antar Kementerian untuk memberantas illegal logging dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam kaitan dengan hal di atas, saya sangat mendukung sikap masyarakat adat. Aspirasi mereka harus didengarkan sebagaimana posisi Konstitusi yang menjunjung keberadaan masyarakat adat.

Dalam koridor dukungan itu, penegakan hukum terhadap hal ini harus dilakukan. Aspirasi masyarakat harus dilanjutkan oleh penegak hukum. Temuan-temuan masyarakat adat menjadi kunci untuk melanjutkannya ke tingkat penyelidikan dan penyidikan. Jika diperlukan, dan menurut saya sangat perlu, Kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan segera merespons hal ini, dan membentuk tim investigasi untuk kasus tersebut.

Apabila diketahui di kemudian hari bahwa PT Sorong Raya Konstruksi belum memenuhi kewajiban pembayaran kompensasi, maka benarlah bahwa masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona menuntut haknya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News