Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)

Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
CARI KEHANGATAN: Warga Wae Rebo berjemur di sinar matahari pagi di depan Mbaru Tembong (rumah utama Wae Rebo). Foto : Doan W/JAWA POS
"Tour de Wae Rebo" dibagi empat "etape". Yang pertama, Denge"Wae Lomba. Etape kedua, Wae Lomba"Posoroko. Berikutnya, jalur Posoroko"Nampe Bakok. Sedangkan, etape pemungkas dari Nampe Bakok ke Wae Rebo.

"Nanti di pos-pos itu bisa beristirahat sebentar. Tarik napas, lemaskan kaki," kata Blasius, lantas tersenyum. Senyum itu masih membangkitkan semangat dan gairah perjalanan.

Tepat pukul 14.12 Waktu Indonesia Timur (WIT), saya memulai perjalanan menempuh "lorong waktu" menuju masa lalu, ke Wae Rebo. Saya didampingi Romanus Monda, warga Wae Rebo yang juga punya rumah di Kombo, kampung di bawah Denge. Roman "sapaan Romanus Monda" bertubuh ramping. Tingginya sekitar 160 sentimeter. Kulitnya sawo matang.

Roman memang guide sekaligus porter berpengalaman. Dia kerap mengantar wisatawan naik-turun Wae Rebo. Tak sekadar mengantar, pria kelahiran Agustus 1975 itu kerap membawakan barang bawaan para turis. "Ada tas-tas besar, ada kaki-kaki kamera (maksudnya tripod, Red)," ujar Roman.

Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News