Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro
Selasa, 18 September 2012 – 00:08 WIB
Saya tunggu sang surya tiba dari atas bukit yang berada di sebelah barat kampung tersebut. Bukit yang juga berfungsi sebagai kuburan warga Wae Rebo itu tak begitu tinggi. Kaki sampai puncaknya didaki tak lebih dari lima menit. Seperti mendaki tangga setinggi tiga lantai.
Sekitar pukul 07.00 berkas sinar pertama matahari menyapa mbaru tembong, rumah utama, yang terletak di ujung paling timur. Tak seberapa lama aktivitas warga mulai terasa. Hari itu sebagian penduduk menjemur kopi robusta yang mereka tanam sendiri di kebun-kebun di sekitar desa. Biji kopi yang masih basah itu mereka gelar pada lembaran plastik besar di areal tengah desa berukuran sekitar 50 x 50 meter persegi.
"Nanti kopi ini kami jual ke bawah. Ke Denge atau ke Kombo," kata Isidorus Ingkul, salah seorang tetua adat Wae Rebo.
Isidorus adalah generasi ke-16 di Wae Rebo. "Satu generasi kira-kira 60 tahun," katanya. Dengan perhitungan itu, Wae Rebo sudah didiami orang selama 1.080 tahun alias 10 abad lebih.
Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor