Merawat Sumpah Pemuda Pada Generasi Milenial

Merawat Sumpah Pemuda Pada Generasi Milenial
Mantan Jurnalis, Presidum GMNI 2002-2005, Jan Prince Permata, SP., M.Si. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh Jan Prince Permata, SP., M.Si
Mantan Jurnalis, Presidum GMNI 2002-2005

Masa depan bangsa terletak di tangan pemuda. Kata ini semacam mantra sakti yang hidup dalam alam bawah sadar bangsa Indonesia. Sejarawan Ben Anderson bahkan menyebutkan pemuda merupakan sumber utama revolusi Indonesia. Bung Karno juga pernah mengucapakan istilah yang tetap popular hingga detik ini yaitu “Berikan aku 10 pemuda niscaya akan ku guncang dunia”.

Hari ini, 28 Oktober 2018 Sumpah Pemuda genap berusia 90 tahun. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa besar dan maha penting dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda sekaligus cikal bakal lahirnya Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Sumpah Pemuda merupakan semangat dan roh yang menegaskan konsep besar persatuan bangsa.

Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam pandangannya menegaskan bahwa Sumpah Pemuda 1928 bisa dilihat sebagai “Proklamasi” bangsa Indonesia dan perubahan sosial politik yang terjadi dalam dunia ide dan pemikiran. Secara terbuka, “jiwa” dan “roh” bangsa Indonesia “ditiupkan” dalam bentuk Sumpah Pemuda, diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya oleh Wage Rudolph Soepratman di Kramat Raya 106 pada 28 Oktober 1928. Selanjutnya, jiwa itu menyertai raga bangsa Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945.

Sebelum Sumpah Pemuda diikrakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dilakukan pada tingkat lokal dan kedaerahan. Sejak Sumpah Pemuda terjadilah “Pemerdekaan secara simbolik dan mental”, karena saat itu diikrarkan kecintaan pada Indonesia. Ketika itu “Hindia Belanda” secara terbuka telah “didekontruksi” dan sekaligus “direkontruksi” menjadi “Indonesia”.

Pada masa Sumpah Pemuda, sentimen kesukuan dan kedaerahan dikalahkan oleh rasa kebangsaan, mereka yang membawa nama kedaerahan dan agama sepakat berpikir dan bertindak sebagai satu bangsa. Demi kepentingan bangsa, mereka rela menyampingkan kepentingan organisai kedaerahan, kesukuan dan keagamaan (Widodo K Sutejo, 2012).
Pemuda selalu mengambil peran dalam setiap perjalanan sejarah bangsa. Rezim Orde Lama dan Orde Baru berakhir dengan turut sertanya gerakan pemuda (mahasiswa) di dalamnya. Tantangan dan masalah yang dihadapi pemuda senantiasa berubah sesuai dengan perubahan zaman. Saat ini kita memasuki dunia yang semakin terbuka dengan kemajuan teknologi informasi yang kian pesat.

Kita saat ini ada di suatu masa dengan anak-anak muda yang dikenal sebagai generasi milenial atau dengan generasi Y. Menurut Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi, yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Sebagian besar peneliti sosial menyatakan generasi milenial lahir pada rentang tahun 1980 hingga 2000.

Generasi milenial sangat berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam penguasaan teknologi. Generasi ini identik dengan keseharian yang sangat tergantung pada keberadaan teknologi. Mereka hidup dengan teknologi digital, penggunaan internet yang tinggi, dan lekat dengan media sosial baik instagram, twitter maupun facebook.

Para pemuda di era milenial sekarang harus mampu menghapuskan batas-batas kedaerahan, etnis, agama maupun parpol guna memajukan negara ini sesuai pendiri bangsa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News